Thursday, May 1, 2014

Hukum Islam di Indonesia (Kasus Konstisionalisasi Hukum Perkawinan)



BAB.I
PENDAHULUAN

Hukum perkawinan bagi para golongan Bumi Putra apalagi yang beragama Islam sejak masa penjajahan sudah menjadi persoalan yang pelik, bisa dibuktikan dengan munculnya organisasi perempuan Indonesia yang mengadakan kongres tahun 1928 yang disitu membahas keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan dikalangan umat Islam, yakni perkawinan kanak-kanak, kawin paksa, poligami, dan lain-lain  yang kemudian pembicaraannya sampai di  Volksraad (Dewan Rakyat).[1]
Sungguh luar biasa respon masyarakat Indonesia pada waktu itu. Walau masih dalam kungkungan kaum penjajah akan tetapi masih sempat untuk memikirkan isu-isu seperti perkawinan poligami dan lain sebagainya. Setelah Indonesia Merdeka telah dibentuk Undang-Undang no. 1 th 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang perkawinan dimuat didalam lembaran negara Republik Indonesia th 1974 no. 1: sedangkan penjelasannya dimuat didalam tambahan lembaran negara R.I no. 3019. didalam bagian umum penjelasan tersebut telah dimuat beberapa hal mendasar yang berkaitan dengan masalah perkawinan.
 Lalu seberapa pentingkah hukum perkawinan pada masa penjajahan dan setelah merdeka seperti lahirnya hukum perkawinan diatas untuk diterapkan ? adakah prinsip-prinsip yang mendasari hukum perkawinan ? dan pokok-pokok apa saja yang terdapat dalam hukum perkawinan menurut Islam ?
Dalam makalah yang berjudul Hukum Islam di Indonesia (Kasus Konstisionalisasi Hukum Perkawinan), yang sedikit banyak akan membahas tentang pertanyaan yang menggelitik tersebut.

           BAB. II
PEMBAHASAN


A.    Hukum Perkawinan pada Masa Penjajahan

Pada masa itu Indonesia bukan merupakan tanah yang tandus dan kosong dari tata hukum, melainkan penuh dengan peraturan dan hukum. Akan tetapi penjajahlah yang menghancurkannnya. Disamping hukum rakyat yang telah ada, VOC telah menetapkan hukumnya sendiri. Bagaimana dengan hukum yang mengatur tentang perkawinan ? Compendium Freyer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut hukum Islam, ditetapkan untuk dipakai oleh pengadilan VOC.
Waktu pemerintahan gubernur Jenderal Daen Dels mengemukakan anggapan bahwa hukum asli terdiri atas hukum Islam, sedang Rafles mengira bahwa hukum adat itu tidak lain adalah hukum Islam.
Pada masa penjajahan wewenang pengadilan penghulu, pengadilan agama berdasarkan Stbl. 1835 no 58 ialah memeriksa dan memutuskan perselisihan tentang huelijkkszakn, buedelscheidiken endergelijke wellke volken de mummedaance wetten moetten bestelis worden. Staatsblad ini diatur kembali dengan koninklick best luit k. B(Stbl. 1882 no. 152). Prof Snouck Hurgronje dan Prof. Andre De La Porte Zijn Zelvs Vosrstaan tanders van de afcha ffing van dit colleg. (Stbl. 1882 no. 152). Ini (pries terraad, Pengadilan Agama di Jawa Madura) dirubah dengan Staat blad 1937 no. 116 dan 610 dan Stbl 1940 no. 3.[2]

            B. Hukum Perkawinan Setelah Merdeka

Golongan umat Islam meskipun ada Undang-Undang RI tahun 1946 no.22 semasa di Yogya yang dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia dengan Undang-Undang tahun 1954 No. 32 tertanggal 26 Oktober 1954, belum mengatur materi perkawainan sesuai dengan kehendak umat Islam, tetapi hanya mengatur pencatatannya sebagai pengganti Huwelijks Ordonantie S 1895-348. co S 1931 no.467 dan Vorstenlendse Huolijks Ordonantie S 1895-198. pasal 1 UU tersebut menyebutkan bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nimah (PPN) yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.
            Isi pokok UU no.22/46 jo 32/54 ialah:
1. Nikah atau talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam diawasi atau diberitahukan kepada pegawai pencatat nukah (pasal 1(1). Maksudnya agar mendapat kepastian hukum: dalam negara yang teratur hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat sebagai : kelahiran, pernIkahan, kematian, dan sebagainya.
2. Yang berhak melekukan pengawasan adalah pegawai uang ditinjuk oleh Menteri Agama.
Pasal-pasal lainnya pada UU no.22/46 tadi, hanya berisi tentang hal-hal yang bertalian dengan pejabat-pejabat yang harus melakukan dan penyelenggaraan administrasinya serta sanksi-sanksi bila terjadi pelanggaran.                       
            Setelah mengalami perubahan atas unsur amandemen yang masuk dalam panitia kerja, maka RUU yang diajukan oleh pemerintah itu pada tanggal 22 Desember 1973 disampaikan kepada sidang Pari Purna DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Fraksi-fraksi dalam DPR, yaitu fraksi ABRI, F.Karya Pembangunan, F.Persatuan Pembangunan,dan Demokrasi Indonesia, mengemukakan pendapatnya. Yang akhirnya pada hari itu juga RUU perkawinan yang pembicaraannya memakan waktu kurang lebih 3 bulan lamanya telah disahkan oleh DPR pada tangga l 2 Januari 1974 yang sering kita sebut dengan UU no. 1 tahun 1974
.
B.     Epilog Undang-Undang Perkawinan

Dengan amanat Presiden RI tanggal 31 Juli 1973 no. R. 02/PU/VII/1973 kepada pimpinan DPR disampaiakn rencana UU tentang perkawinan yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Bab-bab tersebut meliputi:

                                     I.      Dasar perkawinan
                                  II.      Syarat-syarat perkawinan
                               III.      Pertunangan
                               IV.      Tata tara perkawinan
                                  V.      Batalnya perkawinan
                               VI.      Perjannian perkawinan
                            VII.      Hak dan kewajiban suami isteri
                         VIII.      Harta benda dalam perkawinan
                               IX.      Putusnya perkawinan dan akibatnya
                                  X.      Kedudukan anak
                               XI.      Hak dan kewajiban antara anak dan orang tua
                            XII.      Perwalian
                         XIII.      Ketentuan-ketentuan lain
                         XIV.      Ketentuan peralihan
                            XV.      Ketentuan penutup.

Keterangan pemerintah tentang RUU tersebut disampaikan oleh menteri kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. pandangan umum atas RUU perkawinan serta keterangan pemerintah diberikan oleh wakil-wakil fraksi pada tanggal 17 sampai 18 september 1973.
           
Prinsip-prinsip UU perkawinan

Dalam Undang-undang ini terdapat beberapa prinsip demi menjamin cita-cita luhur dari perkawinan. Dari Undang-undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan dapat lebih sempurna dari masa yang sudah-sudah. Oleh karena itu bukannya ridak mungkin adanya berbagai pembaharuan atau peruabahan dalam pelaksanaan hukum. Adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1.         Asas suka rela
2.         Partisipasi keluarga
3.         Perceraian dipersulit
4.         Poligami dibatasi secara ketat
5.         Kematangan calon mempelai
6.         Memperbaiki derajat kaum wanita 

Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang no. 1 th 1974 yang diatur dalam pasal 6 yaitu:
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang anak yang belum mencapai umur 21 th harus mendapat izin kedua orang tua
  3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakaan kehendaknya.
  4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya
  5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2 , 3, dan 4  pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka peradilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 , dan 4 pasal ini.
  6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[3]   














     BAB. III
KESIMPULAN

Dari paparan-paparan diatas maka kita bisa melihat betapa rumitnya proses munculnya Undang-undang perkawinan di Indonesia. Dari masa penjajahan yang wewenang Pengadilan penghulu, Pengadilan Agama berdasarkan Stbl. 1835 no 58 ialah memeriksa dan memutuskan perselisihan tentang huelijkkszakn, buedelscheidiken endergelijke wellke volken de mummedaance wetten moetten bestelis worden, sampai masa kemerdekaan dengan munculnya UU no. 1 tahun 74 yang pengatur tentang tata cara perkawinan.
Ternyata UU Perkawinan tahun 1974 ini memiliki epilog yang begitu kompleks dan prinsip-prinsip yang bercita-cita luhur. Akan tetapi dalam masa sekarang yaitu masa yang serba berubah hukum perkawinan perlu untuk ditinjau kembali dan bila perlu untuk direkomendasi agar bisa menyesuaikan dengan obyeknya.




DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono, Drs., SH., Hukum Perkawinani Nasional, P.T. Rineka Citra: Jakarta, 1994.
Nasution, Khoirudin, Dr., Tentang Relasi Suami Isteri dalam Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004
Sosro, Atmojo, dan, Aulawi, Wasit, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang: Jakarta, 1981


[1]  Sosro, Atmojo, dan, Aulawi, Wasit, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang: Jakarta, 1981, hlm. 9
[2]  Sosro, Atmojo, dan, Aulawi, Wasit, Op. Cit hlm, 12.
[3] Sudarsono, Drs., SH., Hukum Perkawinani Nasional, P.T. Rineka Citra: Jakarta, 1994, hlm 2-3.