BAB.I
PENDAHULUAN
Hukum perkawinan bagi para golongan Bumi Putra apalagi yang beragama Islam
sejak masa penjajahan sudah menjadi persoalan yang pelik, bisa dibuktikan
dengan munculnya organisasi perempuan Indonesia yang mengadakan kongres tahun
1928 yang disitu membahas keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan
dikalangan umat Islam, yakni perkawinan kanak-kanak, kawin paksa, poligami, dan
lain-lain yang kemudian pembicaraannya
sampai di Volksraad (Dewan Rakyat).[1]
Sungguh luar biasa respon masyarakat Indonesia pada waktu itu. Walau
masih dalam kungkungan kaum penjajah akan tetapi masih sempat untuk memikirkan isu-isu
seperti perkawinan poligami dan lain sebagainya. Setelah Indonesia Merdeka
telah dibentuk Undang-Undang no. 1 th 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang perkawinan
dimuat didalam lembaran negara Republik Indonesia th 1974 no. 1: sedangkan
penjelasannya dimuat didalam tambahan lembaran negara R.I no. 3019. didalam
bagian umum penjelasan tersebut telah dimuat beberapa hal mendasar yang berkaitan
dengan masalah perkawinan.
Lalu seberapa pentingkah hukum
perkawinan pada masa penjajahan dan setelah merdeka seperti lahirnya hukum
perkawinan diatas untuk diterapkan ? adakah prinsip-prinsip yang mendasari
hukum perkawinan ? dan pokok-pokok apa saja yang terdapat dalam hukum
perkawinan menurut Islam ?
Dalam makalah yang berjudul Hukum Islam di Indonesia (Kasus
Konstisionalisasi Hukum Perkawinan), yang sedikit banyak akan membahas tentang
pertanyaan yang menggelitik tersebut.
BAB. II
PEMBAHASAN
A. Hukum Perkawinan pada
Masa Penjajahan
Pada masa itu Indonesia bukan merupakan tanah yang tandus dan kosong dari
tata hukum, melainkan penuh dengan peraturan dan hukum. Akan tetapi penjajahlah
yang menghancurkannnya. Disamping hukum rakyat yang telah ada, VOC telah
menetapkan hukumnya sendiri. Bagaimana dengan hukum yang mengatur tentang
perkawinan ? Compendium Freyer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan
hukum perkawinan dan hukum waris menurut hukum Islam, ditetapkan untuk dipakai
oleh pengadilan VOC.
Waktu pemerintahan gubernur Jenderal Daen Dels mengemukakan anggapan
bahwa hukum asli terdiri atas hukum Islam, sedang Rafles mengira bahwa hukum
adat itu tidak lain adalah hukum Islam.
Pada masa penjajahan wewenang pengadilan penghulu, pengadilan agama
berdasarkan Stbl. 1835 no 58 ialah memeriksa dan memutuskan perselisihan
tentang huelijkkszakn, buedelscheidiken
endergelijke wellke volken de mummedaance wetten moetten bestelis worden. Staatsblad
ini diatur kembali dengan koninklick best
luit k. B(Stbl. 1882 no. 152). Prof Snouck Hurgronje dan Prof. Andre De La
Porte Zijn Zelvs Vosrstaan tanders van de afcha ffing van dit colleg. (Stbl.
1882 no. 152). Ini (pries terraad, Pengadilan Agama di Jawa Madura) dirubah
dengan Staat blad 1937 no. 116 dan 610 dan Stbl 1940 no. 3.[2]
B.
Hukum Perkawinan Setelah Merdeka
Golongan umat Islam meskipun ada Undang-Undang RI tahun 1946 no.22 semasa
di Yogya yang dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia dengan Undang-Undang tahun
1954 No. 32 tertanggal 26 Oktober 1954, belum mengatur materi perkawainan
sesuai dengan kehendak umat Islam, tetapi hanya mengatur pencatatannya sebagai
pengganti Huwelijks Ordonantie S 1895-348. co S 1931 no.467 dan Vorstenlendse
Huolijks Ordonantie S 1895-198. pasal 1 UU tersebut menyebutkan bahwa nikah
yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nimah (PPN)
yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.
Isi pokok UU no.22/46 jo 32/54
ialah:
1. Nikah atau talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam diawasi
atau diberitahukan kepada pegawai pencatat nukah (pasal 1(1). Maksudnya agar
mendapat kepastian hukum: dalam negara yang teratur hal-hal yang bersangkut
paut dengan penduduk harus dicatat sebagai : kelahiran, pernIkahan, kematian,
dan sebagainya.
2. Yang berhak melekukan pengawasan adalah pegawai uang ditinjuk oleh Menteri
Agama.
Pasal-pasal lainnya pada UU no.22/46 tadi, hanya berisi tentang hal-hal
yang bertalian dengan pejabat-pejabat yang harus melakukan dan penyelenggaraan
administrasinya serta sanksi-sanksi bila terjadi pelanggaran.
Setelah mengalami perubahan atas
unsur amandemen yang masuk dalam panitia kerja, maka RUU yang diajukan oleh
pemerintah itu pada tanggal 22 Desember 1973 disampaikan kepada sidang Pari
Purna DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Fraksi-fraksi dalam DPR, yaitu
fraksi ABRI, F.Karya Pembangunan, F.Persatuan Pembangunan,dan Demokrasi
Indonesia, mengemukakan pendapatnya. Yang akhirnya pada hari itu juga RUU perkawinan
yang pembicaraannya memakan waktu kurang lebih 3 bulan lamanya telah disahkan
oleh DPR pada tangga l 2 Januari 1974 yang sering kita sebut dengan UU no. 1
tahun 1974
.
B. Epilog Undang-Undang Perkawinan
Dengan amanat Presiden RI tanggal 31 Juli 1973 no. R. 02/PU/VII/1973
kepada pimpinan DPR disampaiakn rencana UU tentang perkawinan yang terdiri dari
15 bab dan 73 pasal. Bab-bab tersebut meliputi:
I.
Dasar perkawinan
II.
Syarat-syarat perkawinan
III.
Pertunangan
IV.
Tata tara perkawinan
V.
Batalnya perkawinan
VI.
Perjannian perkawinan
VII.
Hak dan kewajiban suami isteri
VIII.
Harta benda dalam perkawinan
IX.
Putusnya perkawinan dan akibatnya
X.
Kedudukan anak
XI.
Hak dan kewajiban antara anak dan
orang tua
XII.
Perwalian
XIII.
Ketentuan-ketentuan lain
XIV.
Ketentuan peralihan
XV.
Ketentuan penutup.
Keterangan pemerintah tentang RUU tersebut disampaikan oleh menteri
kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. pandangan umum atas RUU perkawinan
serta keterangan pemerintah diberikan oleh wakil-wakil fraksi pada tanggal 17
sampai 18 september 1973.
Prinsip-prinsip UU perkawinan
Dalam Undang-undang ini terdapat beberapa prinsip demi menjamin cita-cita
luhur dari perkawinan. Dari Undang-undang ini diharapkan agar supaya
pelaksanaan perkawinan dapat lebih sempurna dari masa yang sudah-sudah. Oleh
karena itu bukannya ridak mungkin adanya berbagai pembaharuan atau peruabahan
dalam pelaksanaan hukum. Adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1.
Asas suka rela
2.
Partisipasi keluarga
3.
Perceraian dipersulit
4.
Poligami dibatasi secara ketat
5.
Kematangan calon mempelai
6.
Memperbaiki derajat kaum
wanita
Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang no. 1 th 1974 yang diatur
dalam pasal 6 yaitu:
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang anak yang belum mencapai umur 21 th harus mendapat izin kedua orang tua
- Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakaan kehendaknya.
- Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya
- Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2 , 3, dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka peradilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 , dan 4 pasal ini.
- Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[3]
BAB. III
KESIMPULAN
Dari paparan-paparan diatas maka kita bisa melihat betapa rumitnya proses
munculnya Undang-undang perkawinan di Indonesia. Dari masa penjajahan yang
wewenang Pengadilan penghulu, Pengadilan Agama berdasarkan Stbl. 1835 no 58
ialah memeriksa dan memutuskan perselisihan tentang huelijkkszakn, buedelscheidiken endergelijke wellke volken de
mummedaance wetten moetten bestelis worden, sampai masa kemerdekaan dengan
munculnya UU no. 1 tahun 74 yang pengatur tentang tata cara perkawinan.
Ternyata UU Perkawinan tahun 1974 ini memiliki epilog yang begitu
kompleks dan prinsip-prinsip yang bercita-cita luhur. Akan tetapi dalam masa
sekarang yaitu masa yang serba berubah hukum perkawinan perlu untuk ditinjau
kembali dan bila perlu untuk direkomendasi agar bisa menyesuaikan dengan
obyeknya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Drs., SH., Hukum Perkawinani Nasional, P.T. Rineka
Citra: Jakarta,
1994.
Nasution, Khoirudin,
Dr., Tentang Relasi Suami Isteri
dalam Hukum Perkawinan I, Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004
Sosro, Atmojo, dan,
Aulawi, Wasit, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bulan Bintang: Jakarta,
1981