Sunday, May 11, 2014

Metode Pengajaran Sastra di Sekolah



Pendahuluan

Bagi sebagain orang sastra masih merukapan suatu yang misteri. Untuk membuat rumusan sastra secara singkat, jelas sungguh bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi jika kita ingin mempelajari sastra, baik sebagai seorang guru atau murid, perlu memikirkan apakah sastra itu sebenarnya. Sebab dengan mengetahui hakikat sastra kita akan dapat meyakinkan diri kita sendiri maupun orang lain bahwa mempelajari sastra seyogyanya tidaklah begitu saja mengikuti dengan tepat seperti sebagaimana biasanya kita belajar sastra secara tradisional; tetapi seharusnyalah kita ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Ini sangat berguna, dan tidak dapat dielakkan.
Kata sastra dapat ditemukan dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Kita dapat berbicara sastra secara umum, misalnya berdasarkan aktiivitas manusia yang tanpa mempertimbangkan budaya, suku, maupun bangsa, sastra dipandang sebagai suatu yang dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu saja yang dapat menghasilkan sastra dan sebagian besar yang lain cenderung sebagai penikmat. Sementara sebagai suatu mata pelajaran, sastra masih dapat juga dikelompokkan dalam beberapa ketegori, seperti puisi, fiksi (prosa), drama, dan sebagainya.
Namun, pertanyaan pokok tentang apakah sastra itu sebenarnya, atau apa saja bahan pokok sastra masih belum terjawab. Biasanya sastra di sekolah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi bahasa, baik lisan maupun tulisan merupakan pokok sastra. Dengan demikian sastra mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa yang khusus, yang digunakan dalam perbandingan pola sistematis untuk mengampaikan segala perasaan dan pikiran.Meski begitu, tidak semua bahasa mengandung seni sastra. Dalam kehidupan
            Untuk memahami karya sastra dengan lebih mendalam akan sangat menolong apabila kita mau memahami tiga dorongan yang mendasari kehidupan manusia yang menjadi pusat perhatian kegiatan penulisan sastra sejak awal zaman hingga sekarang, yaitu bersifat religius, yang bersifat sosial, dan personal.
            Masalah yang kita hadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh? Pengajran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu ketrampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa, dan menunjang pembentukan watak siwa.

Pembahasan

  1. Membantu Ketrampilan Berbahasa
seperti kita ketahui ada 4 ketrampilan berbahasa: (i) menyimak; (ii) wicara; (iii) membaca (iv) menulis. Mengikut sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti membantu siswa berlatih ketrampilan membaca dan mungkin ditambah sedikit ketrampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat berhubungan. Dalam pengajaran sastra siswa dapat melatih ketrampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atau lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih ketrampilan wicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Siswa dapat juga menigkatkan ketrampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa cerita. Dan karena sastra itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan ketrampilan menulis.
  1. Meningkatkkan Pengetahuan Budaya
Sastra tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah. Dalam sastra tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar maka akan semakian menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.
Yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini mengandung suatu pengertian yang luas. Dengan berbagai cara, kita dapat menguraikan dan mencerap pengetahuan semcam itu dalam karya sastra. Sebagai contoh, banyak fakta yang yang dikungkapkan dalam karya sastra, tetapi masih banyak fakta–fakta yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk memahami situasi dan problematika khusus yang menghadirkan dalam suatu karya sastra.
Apabila kita dapat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih penting dibanding dengan keterkaitannya satu sama lain, sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu. Namun, yang lebih penting dari semuanya itu adalah kenyataan yang akhirnya disadari oleh para siswa bahwa fakta-ffakta yang perlu difahami bukan hanya sekedar fakta-fakta tentang benda, tetapi fakta tentang kehidupan.
Fakta tentang kehidupan itu bukan hanya mencangkup jawaban atas pertanyaan, "apa dan siapa?" atau "siapa melakukan apa?" ; tetapi juga merupakan jawaban atas pertanyaan seperti, "Manusia itu apa?" ; "Apa yang dapat diharapkan darinya?" ; "Mengapa dia begitu;" dan sebagainya.
Kiranya terlalu berlebihan jika kita mengharapkan sastra dapat mengandung semua jawaban atas peranyaan-pertanyaan di atas. Meski demikian perlu kita ungkapkan bahwa sastra mempunyai hubungan erat dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sebenarnya yang penting dalam hal ini adalah bahwa sastra dapat merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Dengan demikian, mereka, dalam hal ini para siswa diharapkan sampai pada pemahaman masalah yang sebenarnya—baik dengan cara membaca suatu karya sastra maupun dengan cara membaca penelitian sastra.
Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik. Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri, dan ikut memiliki. Beberapa pengetahuan seperti ini dapat diberikan dalam keluarga, tempat ibadadah, atau lewat pelajaran tertentu di sekolah. Jelasnya, bagaimanapun, sastra sering berfungsi menghapus kesenjangan pengetahuan dari sumber-sumber yang berbeda itu dan menggalangnya menjadi suatu gambaran yang lebih berarti.
  1. Mengembangkan Cipta Dan Rasa
Dalam melaksanakan pengajaran sastra kita tidak boleh berhenti pada penguraian pengertian ketrampilan atau pun pengetahuan. Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah seorang yang dengan kepirbadiannya yang khas, kemamuan, masalah, dan kadar perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai proses pengemangan individu secara keseluruhan. Walaupun sebagai individu dalam hal ini menunjuk suatu kesatuan yang kompleks tetapi kita dapat melihat bahwa di dalam diri siswa terkandung berbagai ragam kecapkapan yang kadang menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan atau bahkan kelebihan-kelebihannya masing-masing. Oleh karena itu, hendaknya kecakapan-kecakapan itu dikembangkan secara harmonis jika individu yang bersangkutan diharapkan untuk dapat menyadari potensinya dan dapat mengabdikan diri bagi kepentingan-kepentingan generasinya.
Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; yang bersifat sosial; serta dapat ditambahkan lagi; yang bersifat religius. Karya sastra, sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karena itu dapatlah ditegaskan, pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya.
(a)    Indra
Pengajaran sastra dapat digunakan untuk memperuas pengungkapan apa yang diterima oleh panca indra, seperti indra penglihatan, indra pendengaran, indra pencecapan, dan intra peraba. Para pengarang itu sebenarnya merupakan manusia-manusia yang peka dan berbudi halus dan berusaha menyampaikan kepada pembaca apa yang mereka hayati. Dengan mengikuti tafsiran serta makna kata-kata yang mereka ungkapkan siswa akan diantar untuk mengenali berbagai pengertian dan mampu membedakan satu hal dengan yang lain, misalnya: kuning dengan keemasan, bising dengan menggemparkan, dan lain-lain.
(b)   Penalaran
Pembinaan kecakapan berfikir sering dianggap termasuk bidang khusus seperti matematika atau fisika yang ada diluar jangkauan pengajaran sastra. Anggapan semacam ini tentu saja keliru. Meski benar bahwa pengajaran matematika itu menuntut proses berfikir tepat, logis, serta terkendali ketat, tapi hendaknya kita sadari bahwa bukan matematikan saja yang demikian. Dewasa ini baik di negara berkembang mupun di negara maju banyak diterapkan metode-metode logis dan rasional untuk memecahkan masalah-masalah di luar jangkauan matematika. Nah, proses perfikir logis ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi gagasaan, klasifikasi dan pengelompokan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi rangkaian tindakan yang tepat. Pengajaran sastra jika diarahkan dengan tepat akan sangat membantu siswa melatih memecahkan masalah-masalah berfikir logis semacam itu. Bahkan, di samping sarat dengan kecakaan berfikir logis itu, pengajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya. Tentu saja siswa di sekolah menengah tidak dapat langsung diharapkan mempertanggungjawabkan pemecahan masaiah yang meliputi seluruh proses pemikiran semacam itu. akan tetapi sejak awal guru sastra hendaknya melatih mereka memahami fakta-fakta membedakan mana yang pasti dan mana yang dugaan, memberikan bukti tentang suatu pendapat serta mengenal metode argumentasi yang betul dan yang sesat dan sebagainya.
(c)    Perasaan
Kepekaan rasa dan emosi sering dikaitkan dengan pengajaran sastra, dan barangkali masalah ini perlu terus dipertahankan. Pengertian perasaan ini memang agak kabur dan bahkan mereka yang yakin akan adanya perasaan itu tetap tidak selalu dapat mengerti dengan jelas apa maksudnya. Kita mengenal banyak sekali fenomena dalam kehidupan manusia yang erat hubungannya dengan proses berfikir rasional, akan tetapi banyak pula fenomena dalam kehidupan manusia yang berada di luar jangkauan pikiran rasional itu yang menuntut semacam tanggapan emosional atau perasaan.
Sebagai contoh, apabila kita melihat orang dewasa memukul anak kecil, kita ikut merasa kesal; dan bila kita melihat ombak besar menerpa karang di pantai yang indah kita merasa kagum. Perasaan memang sulit diterangkan dengan tepat apa sebenarnya. Meski perasaan itu sendiri bersumber pada naluri manusia. Karena tradisi yang kompleks, perasaan manusia itu kemudian menunjuk pada hal-hal yang lebih khusus dalam setiap budaya. Misalnya, bayi atau anak kecil mengundang rasa simpati hampir pada semua orang di dunia ini; tetapi musik karya Bethoven misalnya, dirasa menjemukan pada sebagian besar siswa sekolah menengah di Indonesia; sementara merajah tumbuh dengan tato pada penduduk asli di Polinesia di panang kotor oleh sebagian besar orang Eropa.
Kita harus mengatakan bahwa 'manusia harus memiliki perasaan', tetapi pada waktu yang lain kita katakan bahwa perasaan memerlukan pengendalian. Perasaan jelas merupakan suatu elemen yang sangat rumit dalam tingkah laku manusia. Sampai batas-batas tertentu masyarakat sering mempermasalahkan kepekaan perasaan dari anggota-anggotanya.
(d)   Kesadaran Sosial
Sebenarnya pelajaran lain dalam kurikulum pendidikan kita juga telah memberikan pendidikan nilai kesadaran sosial. Tetapi kiranya tidak berlebihan bila kita tegaskan lagi bahwa sastta merupakan penghayatan yang tak ternilai untuk menunjang pendidikan kesadaran sosial ini. Para penulis kreatif biasanya memiliki daya imajinasi dan kesanggupan yang luar biasa untuk mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain, dan meneroobos suatu masalah serta mengenali intinya. Oleh karena itu, seorang pengajar sastra hendaknya bijaksana memilih bahan pengajrannya dengan tepat sehingga dengan tepat pula akan bisa membantu siswa memahami dirinya dalam rangka memahami orang lain.
Tak bisa dipungkiri, bahwa satra memang dapat digunakan sebagai sarana untuk membumbuhkan kesadaran pemahaman terhadap orang ain. Para pengarang modern berusaha menumbuhkan minat, dan menumbuhkan rasa simpati kita tehdapat masalah-masalah yang dihadapi orang-orang tertindas, gagal kalah, dan putus asa.
(e)    Rasa Religius
Banyak orang-orang yang menyatakan dirinya sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk hal-hal yang berubungan dengan rasa religius. Akan tetapi banyak pula orang yang beranggapan bahwa mereka hanya dapat memahami dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan mendasarkan pemikian dan tindakan mereka pada sitem kepercayaan yang mereka yakini. Keyakian semacam ini sering dibahas dengan berbagai cara yang berbeda, termasuk konsep-konsep kepercayaan kuno maupun berbagai ajaran filsafat. Benar bahwa pemikian dan tindakan kita—baik kita ketahui maupun tidak dan kita senangi maupun tidak—biasanya berasarkan pada beberapa asumsi. Tentu saja kita akan berusaha mendasarkan hidup kita pada fundamen yang kuat daripada fundamen yang lemah. Dari semua itu yang perlu kita tambahkan adalah bahwa hampir semua pengarang yang mempunyai daya imajinasi tinggi biasanya berusaha untuk menghasilkan masalah-masalah yang hakiki dalam karya-karya mereka. Oleh karena itu, guru yang melihat perlunya penjelajahan pertanyaan-pertanyaan hakiki bagi siswa akan menemukan materi yang berlimpah dalam dunia sastra akan tetapi hendaknya guru mengarahkan agar siswa tidak mempunyai anggapan bahwa setiap pengarang mempunyai kebenaran mutlak. Beberapa pengarang berusha perlahan-lahan membantah kepercayaan tertentu, sedang beberapa yang lain berusaha memperbaiki atau mengubahnya. Jadi, bagaimanapun tetap diperlukan adanya pemikian kritis tentang apa yang diajunjurkan oleh penagrang dalam karya mereka.

  1. Menunjang Pembentukan Watak
Seorang yang berpendidikan tingggi dapat memiliki berbagai ketrampilan melewati seluruh rangkaian perkembangan pribadi dan mencerap berbagai pengetahuan, namun masih belum merasa puas atas dirinya dan belum merasa berguna penuh bagai sesamanya. 'Sesuatu yang lebih' yang biasanya dikenal sebagai kualitas kepribadian perlu terus dikembangkan.
Sebagai seorang guru sastra hendaklah berhati-hati terhadap anggapan bahwa orang yang banyak membaca biasanya baik perilakuknya. Anggapan seperti ini tidaklah benar. Perilaku seeorang lebih ditentukan oleh faktor pribadinya yang paling dalam. Tidak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia kecuali mengkin pendidikan "cuci otak". A, ada ada saja. He..hee…
Bagaimana pun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan membentuk, tetapi tidak dapat menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang dididiknya.
Meski demikian dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan wajak ini.Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar siwa mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti misalnya: kebahagiaan, kebebasam, kesetiaan, kebanggaan, diri dampai kelemahan, kekalahan, kematian, dan lain lain. Seorang yang telah mendalami bebagai karya sastra bisanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjukkan hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernialai.