Pendahuluan
Bagi sebagain orang sastra masih
merukapan suatu yang misteri. Untuk membuat rumusan sastra secara singkat,
jelas sungguh bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi jika kita ingin mempelajari
sastra, baik sebagai seorang guru atau murid, perlu memikirkan apakah sastra
itu sebenarnya. Sebab dengan mengetahui hakikat sastra kita akan dapat
meyakinkan diri kita sendiri maupun orang lain bahwa mempelajari sastra
seyogyanya tidaklah begitu saja mengikuti dengan tepat seperti sebagaimana
biasanya kita belajar sastra secara tradisional; tetapi seharusnyalah kita ikut
terlibat dalam kegiatan tersebut. Ini sangat berguna, dan tidak dapat
dielakkan.
Kata sastra dapat ditemukan dalam
berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Kita dapat berbicara
sastra secara umum, misalnya berdasarkan aktiivitas manusia yang tanpa
mempertimbangkan budaya, suku, maupun bangsa, sastra dipandang sebagai suatu
yang dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu saja yang dapat
menghasilkan sastra dan sebagian besar yang lain cenderung sebagai penikmat.
Sementara sebagai suatu mata pelajaran, sastra masih dapat juga dikelompokkan
dalam beberapa ketegori, seperti puisi, fiksi (prosa), drama, dan sebagainya.
Namun, pertanyaan pokok tentang
apakah sastra itu sebenarnya, atau apa saja bahan pokok sastra masih belum
terjawab. Biasanya sastra di sekolah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran Bahasa
Indonesia. Jadi bahasa, baik lisan maupun tulisan merupakan pokok sastra. Dengan
demikian sastra mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa yang khusus,
yang digunakan dalam perbandingan pola sistematis untuk mengampaikan segala
perasaan dan pikiran.Meski begitu, tidak semua bahasa mengandung seni sastra.
Dalam kehidupan
Untuk
memahami karya sastra dengan lebih mendalam akan sangat menolong apabila kita
mau memahami tiga dorongan yang mendasari kehidupan manusia yang menjadi pusat
perhatian kegiatan penulisan sastra sejak awal zaman hingga sekarang, yaitu
bersifat religius, yang bersifat sosial, dan personal.
Masalah
yang kita hadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat
memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh? Pengajran sastra
dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat,
yaitu: membantu ketrampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta, rasa, dan menunjang pembentukan watak siwa.
Pembahasan
- Membantu Ketrampilan Berbahasa
seperti kita ketahui ada 4
ketrampilan berbahasa: (i) menyimak; (ii) wicara; (iii) membaca (iv) menulis. Mengikut
sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti membantu siswa berlatih
ketrampilan membaca dan mungkin ditambah sedikit ketrampilan menyimak, wicara,
dan menulis yang masing-masing erat berhubungan. Dalam pengajaran sastra siswa
dapat melatih ketrampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang
dibacakan oleh guru, teman, atau lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih
ketrampilan wicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Siswa dapat juga
menigkatkan ketrampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa cerita. Dan
karena sastra itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan
hasil diskusinya sebagai latihan ketrampilan menulis.
- Meningkatkkan Pengetahuan Budaya
Sastra tidak seperti halnya ilmu
kimia atau sejarah. Dalam sastra tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam
bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya.
Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal
yang apabila dihayati benar-benar maka akan semakian menambah pengetahuan orang
yang menghayatinya.
Yang dimaksud pengetahuan dalam hal
ini mengandung suatu pengertian yang luas. Dengan berbagai cara, kita dapat
menguraikan dan mencerap pengetahuan semcam itu dalam karya sastra. Sebagai
contoh, banyak fakta yang yang dikungkapkan dalam karya sastra, tetapi masih
banyak fakta–fakta yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk memahami
situasi dan problematika khusus yang menghadirkan dalam suatu karya sastra.
Apabila kita dapat merangsang
siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa
itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih
penting dibanding dengan keterkaitannya satu sama lain, sehingga dapat saling
menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu. Namun,
yang lebih penting dari semuanya itu adalah kenyataan yang akhirnya disadari
oleh para siswa bahwa fakta-ffakta yang perlu difahami bukan hanya sekedar
fakta-fakta tentang benda, tetapi fakta tentang kehidupan.
Fakta tentang kehidupan itu bukan
hanya mencangkup jawaban atas pertanyaan, "apa dan siapa?" atau
"siapa melakukan apa?" ; tetapi juga merupakan jawaban atas
pertanyaan seperti, "Manusia itu apa?" ; "Apa yang dapat
diharapkan darinya?" ; "Mengapa dia begitu;" dan sebagainya.
Kiranya terlalu berlebihan jika kita
mengharapkan sastra dapat mengandung semua jawaban atas peranyaan-pertanyaan di
atas. Meski demikian perlu kita ungkapkan bahwa sastra mempunyai hubungan erat
dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sebenarnya yang penting dalam
hal ini adalah bahwa sastra dapat merangsang siswa untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Dengan demikian, mereka, dalam hal ini para
siswa diharapkan sampai pada pemahaman masalah yang sebenarnya—baik dengan cara
membaca suatu karya sastra maupun dengan cara membaca penelitian sastra.
Setiap sistem pendidikan kiranya
perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak
didik. Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri, dan
ikut memiliki. Beberapa pengetahuan seperti ini dapat diberikan dalam keluarga,
tempat ibadadah, atau lewat pelajaran tertentu di sekolah. Jelasnya,
bagaimanapun, sastra sering berfungsi menghapus kesenjangan pengetahuan dari
sumber-sumber yang berbeda itu dan menggalangnya menjadi suatu gambaran yang
lebih berarti.
- Mengembangkan Cipta Dan Rasa
Dalam melaksanakan pengajaran sastra
kita tidak boleh berhenti pada penguraian pengertian ketrampilan atau pun
pengetahuan. Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah
seorang yang dengan kepirbadiannya yang khas, kemamuan, masalah, dan kadar
perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu penting sekali
kiranya memandang pengajaran sebagai proses pengemangan individu secara
keseluruhan. Walaupun sebagai individu dalam hal ini menunjuk suatu kesatuan
yang kompleks tetapi kita dapat melihat bahwa di dalam diri siswa terkandung
berbagai ragam kecapkapan yang kadang menunjukkan adanya
kekurangan-kekurangan atau bahkan kelebihan-kelebihannya masing-masing. Oleh
karena itu, hendaknya kecakapan-kecakapan itu dikembangkan secara harmonis jika
individu yang bersangkutan diharapkan untuk dapat menyadari potensinya dan
dapat mengabdikan diri bagi kepentingan-kepentingan generasinya.
Dalam hal pengajaran sastra,
kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang
bersifat penalaran; yang bersifat afektif; yang bersifat sosial; serta
dapat ditambahkan lagi; yang bersifat religius. Karya sastra, sebenarnya
dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam
itu. Oleh karena itu dapatlah ditegaskan, pengajaran sastra yang dilakukan
dengan benar dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan
tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga
pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran
dalam arti yang sesungguhnya.
(a) Indra
Pengajaran sastra dapat digunakan
untuk memperuas pengungkapan apa yang diterima oleh panca indra, seperti indra
penglihatan, indra pendengaran, indra pencecapan, dan intra peraba. Para pengarang itu sebenarnya merupakan manusia-manusia
yang peka dan berbudi halus dan berusaha menyampaikan kepada pembaca apa yang
mereka hayati. Dengan mengikuti tafsiran serta makna kata-kata yang mereka
ungkapkan siswa akan diantar untuk mengenali berbagai pengertian dan mampu
membedakan satu hal dengan yang lain, misalnya: kuning dengan keemasan, bising
dengan menggemparkan, dan lain-lain.
(b) Penalaran
Pembinaan kecakapan berfikir sering
dianggap termasuk bidang khusus seperti matematika atau fisika yang ada diluar
jangkauan pengajaran sastra. Anggapan semacam ini tentu saja keliru. Meski benar
bahwa pengajaran matematika itu menuntut proses berfikir tepat, logis, serta
terkendali ketat, tapi hendaknya kita sadari bahwa bukan matematikan saja yang
demikian. Dewasa ini baik di negara berkembang mupun di negara maju banyak
diterapkan metode-metode logis dan rasional untuk memecahkan masalah-masalah di
luar jangkauan matematika. Nah, proses perfikir logis ditentukan oleh hal-hal
seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi gagasaan, klasifikasi dan
pengelompokan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi rangkaian
tindakan yang tepat. Pengajaran sastra jika diarahkan dengan tepat akan sangat
membantu siswa melatih memecahkan masalah-masalah berfikir logis semacam itu. Bahkan,
di samping sarat dengan kecakaan berfikir logis itu, pengajaran sastra juga
meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi,
dorongan, dan sebagainya. Tentu saja siswa di sekolah menengah tidak dapat
langsung diharapkan mempertanggungjawabkan pemecahan masaiah yang meliputi
seluruh proses pemikiran semacam itu. akan tetapi sejak awal guru sastra hendaknya
melatih mereka memahami fakta-fakta membedakan mana yang pasti dan mana yang
dugaan, memberikan bukti tentang suatu pendapat serta mengenal metode
argumentasi yang betul dan yang sesat dan sebagainya.
(c) Perasaan
Kepekaan rasa dan emosi sering dikaitkan
dengan pengajaran sastra, dan barangkali masalah ini perlu terus dipertahankan.
Pengertian perasaan ini memang agak kabur dan bahkan mereka yang yakin akan
adanya perasaan itu tetap tidak selalu dapat mengerti dengan jelas apa
maksudnya. Kita mengenal banyak sekali fenomena dalam kehidupan manusia yang
erat hubungannya dengan proses berfikir rasional, akan tetapi banyak pula
fenomena dalam kehidupan manusia yang berada di luar jangkauan pikiran rasional
itu yang menuntut semacam tanggapan emosional atau perasaan.
Sebagai contoh, apabila kita melihat
orang dewasa memukul anak kecil, kita ikut merasa kesal; dan bila kita melihat
ombak besar menerpa karang di pantai yang indah kita merasa kagum. Perasaan
memang sulit diterangkan dengan tepat apa sebenarnya. Meski perasaan itu
sendiri bersumber pada naluri manusia. Karena tradisi yang kompleks, perasaan
manusia itu kemudian menunjuk pada hal-hal yang lebih khusus dalam setiap
budaya. Misalnya, bayi atau anak kecil mengundang rasa simpati hampir pada
semua orang di dunia ini; tetapi musik karya Bethoven misalnya, dirasa
menjemukan pada sebagian besar siswa sekolah menengah di Indonesia;
sementara merajah tumbuh dengan tato pada penduduk asli di Polinesia di panang
kotor oleh sebagian besar orang Eropa.
Kita harus mengatakan bahwa 'manusia
harus memiliki perasaan', tetapi pada waktu yang lain kita katakan bahwa
perasaan memerlukan pengendalian. Perasaan jelas merupakan suatu elemen yang
sangat rumit dalam tingkah laku manusia. Sampai batas-batas tertentu masyarakat
sering mempermasalahkan kepekaan perasaan dari anggota-anggotanya.
(d) Kesadaran
Sosial
Sebenarnya pelajaran lain dalam
kurikulum pendidikan kita juga telah memberikan pendidikan nilai kesadaran
sosial. Tetapi kiranya tidak berlebihan bila kita tegaskan lagi bahwa sastta
merupakan penghayatan yang tak ternilai untuk menunjang pendidikan kesadaran
sosial ini. Para penulis kreatif biasanya
memiliki daya imajinasi dan kesanggupan yang luar biasa untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain, dan meneroobos suatu masalah
serta mengenali intinya. Oleh karena itu, seorang pengajar sastra hendaknya
bijaksana memilih bahan pengajrannya dengan tepat sehingga dengan tepat pula akan
bisa membantu siswa memahami dirinya dalam rangka memahami orang lain.
Tak bisa dipungkiri, bahwa satra
memang dapat digunakan sebagai sarana untuk membumbuhkan kesadaran pemahaman
terhadap orang ain. Para pengarang modern
berusaha menumbuhkan minat, dan menumbuhkan rasa simpati kita tehdapat
masalah-masalah yang dihadapi orang-orang tertindas, gagal kalah, dan putus
asa.
(e) Rasa Religius
Banyak orang-orang yang menyatakan
dirinya sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk hal-hal yang berubungan dengan
rasa religius. Akan tetapi banyak pula orang yang beranggapan bahwa mereka
hanya dapat memahami dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan mendasarkan
pemikian dan tindakan mereka pada sitem kepercayaan yang mereka yakini.
Keyakian semacam ini sering dibahas dengan berbagai cara yang berbeda, termasuk
konsep-konsep kepercayaan kuno maupun berbagai ajaran filsafat. Benar bahwa
pemikian dan tindakan kita—baik kita ketahui maupun tidak dan kita senangi
maupun tidak—biasanya berasarkan pada beberapa asumsi. Tentu saja kita akan
berusaha mendasarkan hidup kita pada fundamen yang kuat daripada fundamen yang
lemah. Dari semua itu yang perlu kita tambahkan adalah bahwa hampir semua
pengarang yang mempunyai daya imajinasi tinggi biasanya berusaha untuk menghasilkan
masalah-masalah yang hakiki dalam karya-karya mereka. Oleh karena itu, guru
yang melihat perlunya penjelajahan pertanyaan-pertanyaan hakiki bagi siswa akan
menemukan materi yang berlimpah dalam dunia sastra akan tetapi hendaknya guru
mengarahkan agar siswa tidak mempunyai anggapan bahwa setiap pengarang
mempunyai kebenaran mutlak. Beberapa pengarang berusha perlahan-lahan membantah
kepercayaan tertentu, sedang beberapa yang lain berusaha memperbaiki atau
mengubahnya. Jadi, bagaimanapun tetap diperlukan adanya pemikian kritis tentang
apa yang diajunjurkan oleh penagrang dalam karya mereka.
- Menunjang Pembentukan Watak
Seorang yang berpendidikan tingggi
dapat memiliki berbagai ketrampilan melewati seluruh rangkaian perkembangan
pribadi dan mencerap berbagai pengetahuan, namun masih belum merasa puas atas
dirinya dan belum merasa berguna penuh bagai sesamanya. 'Sesuatu yang lebih'
yang biasanya dikenal sebagai kualitas kepribadian perlu terus dikembangkan.
Sebagai seorang guru sastra
hendaklah berhati-hati terhadap anggapan bahwa orang yang banyak membaca
biasanya baik perilakuknya. Anggapan seperti ini tidaklah benar. Perilaku
seeorang lebih ditentukan oleh faktor pribadinya yang paling dalam. Tidak ada
satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia kecuali mengkin
pendidikan "cuci otak". A, ada ada saja. He..hee…
Bagaimana pun pendidikan hanya dapat
berusaha membina dan membentuk, tetapi tidak dapat menjamin secara mutlak
bagaimana watak manusia yang dididiknya.
Meski demikian dalam nilai pengajaran
sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan wajak
ini.Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih
tajam. Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan
lebih banyak untuk mengantar siwa mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup
manusia seperti misalnya: kebahagiaan, kebebasam, kesetiaan, kebanggaan, diri
dampai kelemahan, kekalahan, kematian, dan lain lain. Seorang yang telah mendalami
bebagai karya sastra bisanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk
menunjukkan hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernialai.