A.
Pendahuluan
Era Reformasi yang kita
harap-harapkan dapat memberikan sekian kebijakan-kebijakan yang segar bekait
tentang dunia pendidikan ternyata justeru memberikan ambiguitas yang
meresahkan. Di lain pihak, kita harus mengakui bahwa pendidikan yang kita alami
saat ini lebih sering tidak mendidik dari pada sebaliknya. Pendidikan lebih berorientasi
pada makna pengajaran dari pada memberikan makna yang sebenar-benarnya atas
realitas sosial yang terjadi. Mahasiswa diajari memahami teori sosial, tanpa
tahu sedikitpun realitas sosial yang dibahas dalam teori-terori tersebut. Siswa
dididik untuk menghahaf sekian ayat-ayat suci, rumus-rumus, dari tidak diajak
untuk berempati para realitas sesungguhnya. Anak didik boleh jadi pandai,
jenius dan menguasai sekian hafalan yang dahsyat, tapi sungguh ironis karena
sebagian besar anak didik kita buta realitas, penindasan, menjadi budak
kemiskinan, buta pembodohan, dan memiliki jiwa yang lemah.
Pendidikan
agama yang semestinya mencetak generasi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa disinyalir telah diselewengkan. Agama telah dipolitisasi begitu
rupa, diteriakkan simbol-simbolnya, tapi dimatikan subtansinya. Agama telah
disebarkan aspek-aspek formalnya tapi dihancurkan makna sejatinya. Keberagamaan
tidak diajarkan dalam suasana keragaman tapi keseragaman.
Itulah
beberapa slentingan yang berkembang dalam wacana pendidikan kita
sekarang. Maka, membutuhkan penjelasan yang cukup panjang untuk menjawab
pertanyaan, mau dibawa ke mana sesungguhnya pendidikan kita? Di manakah posisi
pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional dan untuk apa perlu
diselenggarakan pendidik agama? Selain itu, kita juga patut menengok kembali kontroversi
seputar Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
yang tentu saja masih ada hubungannya dengan pembahasan pokok makalah ini. Kemudian,
yang terakhir, perlu juga kita menjabarkan tentang pendidikan agama berbasis
multikultural yang oleh sebagian besar pakar pendidikan dinyatakan sebagai
salah satu model pendidikan yang cukup ideal.
B. Sejarah Singkat Pendidikan Agama Di
Indonesia
Secara kultural,
pendidikan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang
tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud mengangkat dan
menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam
bentuk transfer of knowladge dan transfer of values.[1]
Mengenai pendidikan
agama sendiri pada dasarnya mewarnai perjalanan bangsa Indonesia,
apalagi bila dilihat dari dimensi historis. Diketahui, bahwa pesantren
merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal pertama yang ada di indonesia,[2]
dan hal ini berlangsung berabad-abad lamanya. Sampai kemudian pemerintah
kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat yang sekuler.
Selama menjajah di Bumi
Pertiwi ini Belanda berusaha untuk menekan umat Islam di Indonesia dengan
berbagai cara, dari mempersulit masalah perizinan sampai pelarangan berdakwah
atau menyelenggarakan pengajaran pendidikan agama Islam. Namun, umat Islam
tidak patah semangat. Umat Islam justeru semakin termotivasi untuk
mengembangkan dakwah perjuangannya. Apalagi setelah banyak di antara umat Islam
yang menunaikan ibadah haji ke tanah Makkah, yang kemudian sepulang mereka ke
Indoensia memberikan paham atau pikiran-pikiran baru untuk membaharui sistem
pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini bisa ditandai dengan perubahan sistem
pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal dan
pemberian pengetahuan umum, di samping pengetahuan agama dan bahasa Arab. Maka,
kemudian kita mengenal sederet nama yang telah berjasa, seperti, Syekh Abdullah
Ahmad, Syeh M. Thaib Umar, K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Ahmad Dahlan, dan sederet
nama lainnya. Merekalah yang telah melahirkan organisasi masyarakat yang
bergerak dibidang pendidikan dan sosial kemasyarakat, seperti Muhammadiyah,
Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), dll.
Pada awal kemerdekaan,
meskipun pada permulaan abad ke-20 sudah diperkenalkan sistem pendidikan
madrasah yang berusaha memadukan kedua sistem (agama dan umum) tersebut di atas
namun ternyata suasana ketradisionalannya masih sangat kentara. Lembaga-lembaga
pesantren melahirkan out put yang mempunyai pengetahuan agama begitu
mendalam tetapi miskin sekali pengetahuan umunnya, sehingga tidak jarang mereka
buta huruf latin. Sebaliknya sekolah-sekolah modern belanda melahirkan out
put yang berpengatahuan umum luas, namun miskin akan nilai-nilai dan
pengetahuan agama. Kenyataaan ini diperparah lagi dengan apa yang berbau
kolonaial. Sehingga sampai ada pernyatakan bahwa apa yang datang atau produk
dari kolonial tersebut dianggap sebagai sesuatu yang kafir.
Jadi, pemerintah dan
bangsa Indonesia
pada awal kemerdekaan masih mewarisi sistem pedidikan yang bersifat dualistik
tersebut. Yakni:
1.
Sistem pendidikan dan pengajaran modern yang
bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah
umum yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
2.
Sistem pendidikan Islam yang tumbuh dan
berkembang di kalangan umat Islam sendiri, yaitu sistem pendidikan dan
pengajaran yang berlangsung di surau atau langgar, masjid, pesantren, dan
madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak keagamaan semata.
Dalam pasal 31 ayat (2)
UUD 1945 disebutkan bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang".
Menurut para penyususnnya,
yang dimaksud "satu sistem pengajaran nasional" adalah suatu sistem
pendidikan dan pengajaran yuang bisa memelihara pendidikan kecerdasan akal budi
secara merata kepada seluruh rakyat, yang bersendi agama dan kebudayaan bangsa,
untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat bangsa Indonesia
seluruhnya.
Dalam perkembangannya hingga
sekarang pendidikan agama seolah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Pendidikan agama, sampai sekarang, masih
menjadi mata pelajaran pokok atau wajib dari satuan pendidikan yang diajarkan
mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sampai kemudian, sebagai realisasi
dari UUD 1945, lahirlah Undang-undang No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang kemudian diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian UU Nomor 2003
merupakan wadah formal terintregrasinya pendidikan agama dalam sistem
pendidikan nasional yang menjadi acuan sekarang.
B. Fungsi dan Sumbangan Pendidikan
Agama terhadap Pendidikan Nasional
Sebelum UU No 20 / 2003
disahkan fungsi pendidikan agama telah dituangkan dalam penjelasan pasal 39
ayat (2) UU Nomor 2 tahun 1989. Di sana
disebutkan: "Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta
didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan tujuan untuk menghormati agama
lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat dan mewujudkan
persatuan nasional."[3]
Dari rumusan tersebut
tampaknya terdapat konsistensi dan keterkaitan langsung antara rumusan fungsi
pendidikan agama dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang pada pasal 4
UU nomor 2 tahun 1989 yaitu: "Mencerdaskan kehidupan Bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa."
Hal tersebut kemudian dipertegas
lagi pada penjelasan pasal 15 UU No 20 / 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan
keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan atau menjadi ahli ilmu agama.
Dalam upaya membentuk
manusia Indonesia
yang beriman dan bertakwa, pendidikan agama memiliki peranan sangat penting.
Untuk itulah pendidikan agama wajib diberikan pada semua satuan, jenjang, dan
jenis pendidikan, baik melalui jalur sekolah maupun jalur luar sekolah.
Pendirikan agama
sebagai institusi yang selama ini dikenal dengan nama madrasah serta pondok
pesantren telah berakar, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Tercatat dalam sejarah Pendidikan Nasional, satuan
pendidikan tersebut telah ada sejak permulaan agama Islam masuk ke Indonesia atau
paling lambat sudah dmulai pada abad ke-11.
Dengan demikian, kita
tidak bisa menomorduakan lembaga pendidikan agama. Jika lembaga pendidikan
agama, terutama madrasah, mampu memacu diri dengan berupaya maksimal
meningkatkan kualitas dalam berbagai aspeknya tidak mustahil madrasah nantinya
akan menjadi alternatif pertama pilihan masyarakat untuk memasukkan
anak-anaknya. Bagaimana pun pada saat globalisasi melanda dunia seperti
sekarang ini nilai-nilai etika dan moral sudah mulai luntur dan begeser. Dalam
konteks ini, tulis Hasbullah, madrasah sangat strategis untuk membendung arus
demoralisasi yang sangat merugikan tersebut.[4]
C. Implementasi Nilai-Nilai Agama
dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pada pelaksanaannya
sistem pendidikan nasional, baik yang berada pada jalur sekolah maupun
pendidikan luar sekolah, paling tidak tampil dalam beberapa bentuk atau
kategori yang secara subtansial memiliki perbedaan, baik dalam sifatnya maupun
dalam implikasinya. Yakni, sebagai berikut.
1. Keberadaan Mata
Pelajaran Agama
Dalam dalam UU Nomor 2
tahun 1989 dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan dan
diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan. Dalam pengertian ini, pendidikan
keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam kurikulum semua jenis dan
jenjang pendidikan di Indonesia.
Sementara itu persoalan
atau tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama sebagai suatu
mata pelajaran di sekolah saat ini adalah bagaimana agar pendidikan agama tidak
hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama, tetapi dapat mengarahkan anak
didik untuk menjadi manusia yang benar-benar mempunyai kualitas keberagamaan
yang kuat. Dengan demikian materi pendidikan agama tidak hanya menjadi
pengetahuan, tetapi dapat membentuk sikap dan kepribadian peserta didik
sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa dalam arti sesungguhnya. Apalagi
pada saat-saat seperti sekarang yang tampaknya muncul gejala terjadinya
pergeseran nilai-nilai yang ada sebagai akibat majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2. Lembaga
Penyelenggara Pendidikan Keagamaan.
Berkenaan dengan
lembaga penyelenggaraan pendidikan keagamaan ini, tampak minimal ada tiga
bentuk, yakni pesantren, madrasah-madrasah keagamaan (diniah), dan
madrasah-madrasah yang termasuk pendidikan umum berciri khas agama, seperti
madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah.
3. Melekatnya
Nilai-Nilai Agama pada Setiap Mata Pelajaran.
Bentuk ketiga ini pada
dasarnya lebih subtil, namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik. Sebagai contoh dalam hal
ini adalah pendidikan MIPA. Melalui pendidikan ini siswa mempelajari subtansi
ke MIPA-an yang terdiri atas dalil-dalil, teori-teori,
generalisasi-generalisasi, prinsip-prinsip MIPA, dan lainnya. Dengan penguasaan
ini mereka dapat menerapkan MIPA untuk tujuan pemecahan masalah dan
pengembangan Iptek. Di samping subtansi ke MIPA-an, ada dimensi nilai yang
terkandung dalam pendidikan MIPA. Dengan demikian MIPA dapat menjadi wahana
pendidikan nilai-nilai agama. Tentu saja banyak hambatan yang dihadapi,
terutama menyangkut kemampuan para pendidiknya, baik menyangkut penguasaan
metode, maupun tuntutan seorang guru memiliki keimanan dan ketakwaan yang
kokoh, disertai kemampuannya untuk mengembangkan nilai-nilai iman dan takwa
tersebut kepada para siswanya.
4. Penanaman
Nilai-Nilai Agama di Keluarga
Keluarga merupakan
bagian dari penddikan luar sekolah sebagai wahana pendidikan agama yang paling
ampuh. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama yang utama bagi seorang
dengan orangtua sebagai kuncinya. Pendidikan dalam keluarga terutama berperan
dalam mengembangkan watak kepribadian nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan
dan moral serta ketrampilan sederhana.
D. Kedudukan dan Kekuatan Pendidikan
Agama
Sebagaimana
sudah disinggung pada bagian sebelumnya, pendidikan agama di Indonesia mempunyai
kedudukan yang kuat. Apalagi sejak UU nomor 20 tahun 2003 disahkan. Meskipun UU
tersebut memiliki sederet kontroversi, namun disahkannya undang-undang tersebut
membuktikan bahwa Indonesia
mencampurkan urusan agama dengan urusan negara.
Berbeda
dengan apa yang dianut oleh bangsa-bangsa eropa, di mana agama sudah dipisahkan
dengan negara. Dalam negara-negara eropa agama adalah urusan pribadi
masing-masing yang intim. Dan mereka menganggap agama tidak patut
dicampuradukkan dengan urusan negara atau pemerintah.
Indonesia,
sebagai negara dengan pemeluk islam terbesar di dunia, ternyata masih memandang
penting agama untuk diikutserakan dalam urusan pemerintahan. Banyak
pertentangan terjadi di sini. Bagi kami sendiri, menganggap tidak masalah
pemerintah ikut mengurusi agama. Namun, perlu diingat bahwa jangan sampai agama
dipolitisasi sedemikian rupa dan dijadikan alat oleh negara. Agama pada
dasarnya adalah sesuatu yang independent. Dan jika pemerintah tetap
berkeinginan ikut campur di dalamnya, maka pemerintah mesti sangat hati-hati.
Ditakutkan, jika pemerintah ikut campur terlalu dalam maka akan melanggar hak
asasi manusia.
Dengan
disahkannya UU No 20 tahun 2003 maka kita sudah selayaknya menjalankan apa yang
tertuang di dalamnya. Apa-apa yang diperdebatkan sebelum UU tersebut disahkan
tentunya tidak patut lagi kita ungkit. Palu sudah diketuk. Dan kita mesti
mematuhi apa yang digariskan pemimpin, demi terselenggaranya kehidupan yang
selaras dan seimbang. namun begitu, tidak ada salahnya kita kembali menengok
sekilas mengenai kontroversi sisdiknas yang dulu sangat ramai dibincangkan.
E. Kontroversi Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
Undang-undang sistem
pendidikan nasional (UU Sisdiknas) yang melahirkan kontroversi kini sudah
diabsahkan. Merunut ke belakang, kontroversi itu terutama dipicu adanya masalah
pendidikan agama seperti dijelaskan dalam pasal 12 ayat (1) UU Sisdiknas. Di
dalam Bab V tentang Peserta Didik pada pasal 12 ayat (1) huruf (a) dinyatakan:
(1) Setiap Peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. Mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh yang
seagama.[5]
Di sini setidaknya
muncul dua problem, yakni pertama, apakah pendidikan agama bisa diberikan oleh
guru yang seagama atau cukup guru yang memiliki kompetensi walaupun mereka
berbeda keyakinan agama; dan kedua, apakah pendidikan harus diberikan kepada
semua jenjang dan jenis pendidikan atau apakah cukup di beberapa satuan
pendidikan tertentu saja.
Jika kita kembali ke
belakang, menengok sejarah, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP) pernah mengusulkan kepada Menteri PP dan K (Penidikan Pengajaran dan
Kebudayaan) yang saat itu dijabat Mr. Suwandi (2 Oktober 1946-27 Juni 1947)
agar dilaknakanan pendidikan agama di sekolah. Lantas usul itu ditnggapi oleh
pemerintah. Dan kemudian dibentuklah panitia Penyidik Pengajaran dibawah
pimpinan Ki Hajar Dewantara. Salah satu hasil dari kerja tersebut adalah perlu
dilaksanakannya pendidikan agama di sekolah untuk dilakukan kerja sama antara Menteri
Agama dan Menteri P dan K. Kerja antara dua departemen ini membuahkan beberapa
surat keputusan bersama sebagai pedoman oprasional pendidikan agama di sekolah.
Siapa pun yang
mengikuti pembahasan RUU Sisdiknas dulu, mungkin akan sepakat bahwa adanya
penjelasan pasal 28 ayat 2 UU Nomor 2 tahun 1989 ke dalam naskah RUU Sisdiknas (kini
sudah disahkan) yang baru ini setidaknya mencerminkan dua pertentangan utama.
1. Pihak yang
sepakat dan merasakan bahwa pendidikan agama sangat penting diberikan kepada
siswa karena hal tersebut merupakan bekal moral siswa dalam menghadapi,
mengapresiasi, dan mengintrepretasikan masalah-masalah dalam kehidupannya.
Dalam kasus kali ini, pihak yang sekapat diwakili oleh Majlis Ulama Indonesia
(MUI) dan beragai organisasi Islam yang mendukung atas usulan draf tersebut.
Mereka menilai bahwa justeru UU Sisdiknas itu menghargai prularisme dan otonomi
pendidikan.
2. Pihak yang
menentang adanya pendidikan agama beralasan bahwa telah terjadi pemaksaan dan
juga formalisasi keagamaan bagi anak didik. Dan itu melanggar kebebasan
beragama, hak asasi manusia (HAM), dan toleransi beragama sebagai bagian dari
upaya menciptakan kehidupan yang harmonis. Masyaraat yang menentang mengganggap
draf itu kurang memperhatikan pluralisme pendidikan (masyarakat) dan tidak
memberikan ruang kebebasan (otonomi) pendidikan yang sedang digalakkan.[6]
Menanggapi hal itu Benny
Susetyo menjelaskan, dalam kasus kontroversi UU Sisdiknas ini penting sekali
untuk menunjukkan bahwa peran penting guru tidak bisa diabaikan. Pendidikan
agama yang diformalisasikan sedemikian rupa sama sekali tidak menjamin mengubah
perilaku siswa menjadi baik secara otomatis. Selama ini kita tahu dan menyadari
bahwa pendidikan agama tidak mampu mengubah siswa menjadi baik.[7]
Bagi kalangan yang
kontra menambah apologinya dengan menyatakan bahwa dalam pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas
sudah dinyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan tidak
diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan pluralitas bangsa. Tidak banyak orang menaruh tafsir yang ambigu
ketika menyatakan bahwa salah satu jalan untuk mencapai pintu masuk ke dalam
kesadaran HAM dan pluralisme serta demokrasi adalah dengan memberikan
pendidikan agama bagi siswa. Mereka yang tidak sepakat, mengaku takut jika
undang-undang ini diterapkan maka konflik-konfilik antaretnis, antar agama dan
antar-kelas sosial kembali meruak. Sebab, kita tahu masyarakat Indonesia begitu
majemuk.
Seberapa pun kuatnya
pro-kontra itu, toh undang-undang Sisdiknas tetap disahkan. Dan sepertinya
memang undang-undang tersebut perlu disahkan. Alasan-alasan yang dikemukakan
oleh mereka yang tidak setuju pada pasal yang mengandung provokasi itu bisa
dibilang lemah. Mereka mengakui pendidikan agama itu perlu dan penting. Selain
juga menambahkan bahwa jika pendidikan agama di sekolah tetap dijalankan maka
akan menyandera hak asasi manusia yang pokok yakni, kebebasan beragama. Logikanya
tersebut terlihat keliru. Siapa pun tetap berhak beragama menutur keyakinan dan
kepercayaannya dan bisa berpindah agama kapan saja. Jadi, yang salah sebenarnya
bukan undang-undang tersebut.
Selain itu, kegagalan pendidikan
agama yang mereka lontarkan dengan membeberkan fakta-fakta seperti banyaknya
tidak kriminal dan korupsi, bukanlah kesalahan adanya pendidikan agama. Akan
tetapi bisa jadi ada kesalahannya ada pada pengajaran agama atau hal lain yang
perlu diperbaiki. Kemudian, bukankah selayaknya peserta didik mendapat
pengajaran dari orang yang seagama, bukan orang yang diluar agamanya yang tidak
kompeten. Pengajaran agama tentu saja tidak hanya membutuhkan pengetahuan
tetapi keikhlasan dan penghayatan. Adakah mereka yang berbeda agama akan ikhlas
dan mengahayati ketika mengajarkan agama yang tidak dianutnya? Anda tahu
sendiri jawabannya.
Meskipun demikian,
dalam tataran teknis pasal yang kontroversial di atas mengalami kesulitan dan
belum sempurna diterapkan hingga sekarang. Apa boleh buat.
F. Pendidikan Agama Bebasis Multikultural
dan Religion Culture
Pada masa
orde baru (Orba), perbedaan dianggap memiliki potensi berbahaya yang akan
menyebabkan kesatuan bangsa menjadi chaos. Realitas masyarakat dengan
keragamannya direpresi dan didekontruksi sesuai dengan arah kebijakan Orba.
Salah satunya dengan menyeragamkan dan menihilkan entitas budaya lokal yang
akhirnya menjadi tabir terciptanya dialog antar kultur dari mayarakat adat yang
berbeda.
Pasca pemerintah Orba, kita banyak meyaksikan
tragedi kemanusiaan yang demikian memilukan. Konflik berbau suku, agama, ras
dan antargolongan, seperti yang terjadi di Aceh, Ambon,
Papua, Kupang, Dayak, dan beberapa daerah lainnya adalah relitas empirik yang
mengancam integrasi bangsa di satu sisi, namun membutuhkan solusi konkret dalam
penyelesaiannya di sisi lain. Salah satunya adalah dengan membangun kembali
pondasi keanekaragaman masyarakat dengan cara pendidikan multikulturalisme.
Pendidikan monokutur dengan mengabaikan
pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, disadari atau tidak telah
memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif.
Ide
multikulturalisme menurut Taylor (Savirani, 2003: 385) adalah gagasan mengatur
keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics
of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi
antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran,
masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002: 98) menjelaskan
multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Secara mudah dapat
dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa
masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan.
Meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan, namun tidak ada masyarakat kelas,
karena multikultularisme mengakui adanya politik universalisme yang menekenkan
persamaan hak, kewajiban dan harga diri.
Yang diajarkan dalam pendidikan multikulturalisme bukan semangat ketunggalan (tunggal
ika) yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat, tetapi lebih
menekankan pada pengakuan adanya pluralitas (bhinneka) budaya bangsa
yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis.
Pendidikan agama sudah
semestinya juga mengajarkan tentang keberagaman. Dan tidak bersifat doktriner. Komarudin
Hidayat, dalam wawancaranya dengan Ulil Absar Abdala menyatakan bahwa, di
sekolah Madania, para siswa tidak hanya diperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam,
tetapi juga dikenalkan bagaimana ritual Hindu, Budha, Kristen, dsb. Dengan
melakukan hal semacam itu secara tidak langsung kita sudah menanamkan sikap
untuk toleran terahadap agama-agama lain.
Selain itu, pengajaran
agama yang menyajikan bahan-bahan pengetahuan dasar menyangkut pelajaran inti
seperti sakramen, doa-doa inti, kewajiban-kewajiban inti yang orientasinya
lebih pada pendalaman akan nilai-nilai, bukan lagi pada indoktrinasi, tapi juga
menyentuh hal-hal mendasar penghargaan akan nilai-nilai kehidupan, kejujuran,
tanggung jawab. Intinya, agama terkait dengan kehidupan yang konkret bukan
kesemuan belaka.
Baru-baru ini kita
mengenal sebuah metode pembelajaran agama yang sangat brilian. Yakni religion
cultute. Sebagai sebuah metode, religion culture sangat bagus untuk diterapkan
pada sistem pendidikan agama di Indoensia. Jika selama ini pendidikan dianggap
gagal membawa para siswa memiliki akhlak dan ketakwaan yang bagus maka religion
culture menawarkan sebuah metode baru yang segar dan memungkinkan tercapainya
tujuan pendidikan agama.
Pada dasarnya pendidikan
religion culture adalah pendidikan dengan menciptakan sebuah ruang belajar yang
agamis. Ruang, kita tahu, akan sangat mempengaruhi pergembangan belajar anak
didik. Ruang yang ideal bagi lancarnya pendidikan agama adalah ruang yang di
dalamnya nilai-nilai agama dipraktikkan oleh semua penghuninya, baik pendidik,
siswa, penjual, tukang kebun, dan semua yang tinggal di dalamnya, dalam hal ini
sekolah.
Sebenarnya, pesantren
sudah mempraktikkan metode pembelajaran ini sejak lama. Namun begitu di pesantren,
pembelajaran berlangsung sentralistik, ritualistik, dan doktriner sekali.
Sehingga setelah santri/peserta didik keluar dari pesantren ia sering tidak
memegang subtansi dan nilai-nilai agama itu sendiri. Dan iman serta
ketakwaannya menjadi mudah goyah ketika bertemu kembali dengan dunia luar yang
ruwet dan semrawut.
Untuk itu, religion
cultur mesti dipelajari lebih dalam. Bisa dengan mengikutkan siswa didik dalam
forum-forum perencanaan pembelajaran. Dengan demikian, siswa didik akan
mencapai to be religion, bukan to have religion. Jadi, kita butuh
kurikulum yang segar dalam mata pelajaran agama. Sepakat?
F. Penutup
Pendidikan
agama dalam sitem pendidikan nasional telah mendapatkan posisi yang penting.
Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni menciptakan manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa memang sudah selayaknya
pendidikan agama menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Akan tetapi,
pendidikan agama yang selama ini telah kehilangan ruhnya, mestilah
dikembalikan. Pengajaran pendikan agama tidak semestinya bersifat dontriner dan
tertutup. Akan tetapi pengajaran agama di sekolah harus bisa menyentuh
nilai-nilai yang subtansial. Dengan begitu konflik-konflik antar agama tidak
terulang dan siswa didik bisa respon dengan ketidakadilan, penindasan, dan
segala penyimpangan sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
G.
Daftar Pustaka
Benny Susetyo, Politik Pendidikan
Penguasa, Penerbit L-KiS: Yogyakarta, 2005.
Departemen Agama RI, Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional , Dirjen Binbaga
Islam: Jakarta,
1992
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan, Grafindo Persada: Jakarta,
2005.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, Hidakarya Agung: Jakarta, 1985.
Radja Madyahardjo, Filsafat
Pendidikan, Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2001.