Saturday, May 10, 2014

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI SUB SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL



A. Pendahuluan
Era Reformasi yang kita harap-harapkan dapat memberikan sekian kebijakan-kebijakan yang segar bekait tentang dunia pendidikan ternyata justeru memberikan ambiguitas yang meresahkan. Di lain pihak, kita harus mengakui bahwa pendidikan yang kita alami saat ini lebih sering tidak mendidik dari pada sebaliknya. Pendidikan lebih berorientasi pada makna pengajaran dari pada memberikan makna yang sebenar-benarnya atas realitas sosial yang terjadi. Mahasiswa diajari memahami teori sosial, tanpa tahu sedikitpun realitas sosial yang dibahas dalam teori-terori tersebut. Siswa dididik untuk menghahaf sekian ayat-ayat suci, rumus-rumus, dari tidak diajak untuk berempati para realitas sesungguhnya. Anak didik boleh jadi pandai, jenius dan menguasai sekian hafalan yang dahsyat, tapi sungguh ironis karena sebagian besar anak didik kita buta realitas, penindasan, menjadi budak kemiskinan, buta pembodohan, dan memiliki jiwa yang lemah.
            Pendidikan agama yang semestinya mencetak generasi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa disinyalir telah diselewengkan. Agama telah dipolitisasi begitu rupa, diteriakkan simbol-simbolnya, tapi dimatikan subtansinya. Agama telah disebarkan aspek-aspek formalnya tapi dihancurkan makna sejatinya. Keberagamaan tidak diajarkan dalam suasana keragaman tapi keseragaman.
            Itulah beberapa slentingan yang berkembang dalam wacana pendidikan kita sekarang. Maka, membutuhkan penjelasan yang cukup panjang untuk menjawab pertanyaan, mau dibawa ke mana sesungguhnya pendidikan kita? Di manakah posisi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional dan untuk apa perlu diselenggarakan pendidik agama? Selain itu, kita juga patut menengok kembali kontroversi seputar Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tentu saja masih ada hubungannya dengan pembahasan pokok makalah ini. Kemudian, yang terakhir, perlu juga kita menjabarkan tentang pendidikan agama berbasis multikultural yang oleh sebagian besar pakar pendidikan dinyatakan sebagai salah satu model pendidikan yang cukup ideal.

B. Sejarah Singkat Pendidikan Agama Di Indonesia
Secara kultural, pendidikan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowladge dan transfer of values.[1]
Mengenai pendidikan agama sendiri pada dasarnya mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, apalagi bila dilihat dari dimensi historis. Diketahui, bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal pertama yang ada di indonesia,[2] dan hal ini berlangsung berabad-abad lamanya. Sampai kemudian pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat yang sekuler.
Selama menjajah di Bumi Pertiwi ini Belanda berusaha untuk menekan umat Islam di Indonesia dengan berbagai cara, dari mempersulit masalah perizinan sampai pelarangan berdakwah atau menyelenggarakan pengajaran pendidikan agama Islam. Namun, umat Islam tidak patah semangat. Umat Islam justeru semakin termotivasi untuk mengembangkan dakwah perjuangannya. Apalagi setelah banyak di antara umat Islam yang menunaikan ibadah haji ke tanah Makkah, yang kemudian sepulang mereka ke Indoensia memberikan paham atau pikiran-pikiran baru untuk membaharui sistem pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini bisa ditandai dengan perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal dan pemberian pengetahuan umum, di samping pengetahuan agama dan bahasa Arab. Maka, kemudian kita mengenal sederet nama yang telah berjasa, seperti, Syekh Abdullah Ahmad, Syeh M. Thaib Umar, K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Ahmad Dahlan, dan sederet nama lainnya. Merekalah yang telah melahirkan organisasi masyarakat yang bergerak dibidang pendidikan dan sosial kemasyarakat, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), dll.
Pada awal kemerdekaan, meskipun pada permulaan abad ke-20 sudah diperkenalkan sistem pendidikan madrasah yang berusaha memadukan kedua sistem (agama dan umum) tersebut di atas namun ternyata suasana ketradisionalannya masih sangat kentara. Lembaga-lembaga pesantren melahirkan out put yang mempunyai pengetahuan agama begitu mendalam tetapi miskin sekali pengetahuan umunnya, sehingga tidak jarang mereka buta huruf latin. Sebaliknya sekolah-sekolah modern belanda melahirkan out put yang berpengatahuan umum luas, namun miskin akan nilai-nilai dan pengetahuan agama. Kenyataaan ini diperparah lagi dengan apa yang berbau kolonaial. Sehingga sampai ada pernyatakan bahwa apa yang datang atau produk dari kolonial tersebut dianggap sebagai sesuatu yang kafir.
Jadi, pemerintah dan bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan masih mewarisi sistem pedidikan yang bersifat dualistik tersebut. Yakni:
1.        Sistem pendidikan dan pengajaran modern yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
2.        Sistem pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sendiri, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlangsung di surau atau langgar, masjid, pesantren, dan madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak keagamaan semata.
Dalam pasal 31 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang".
Menurut para penyususnnya, yang dimaksud "satu sistem pengajaran nasional" adalah suatu sistem pendidikan dan pengajaran yuang bisa memelihara pendidikan kecerdasan akal budi secara merata kepada seluruh rakyat, yang bersendi agama dan kebudayaan bangsa, untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat bangsa Indonesia seluruhnya.
Dalam perkembangannya hingga sekarang pendidikan agama seolah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pendidikan agama, sampai sekarang, masih menjadi mata pelajaran pokok atau wajib dari satuan pendidikan yang diajarkan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sampai kemudian, sebagai realisasi dari UUD 1945, lahirlah Undang-undang No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian UU Nomor 2003 merupakan wadah formal terintregrasinya pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional yang menjadi acuan sekarang.




B. Fungsi dan Sumbangan Pendidikan Agama terhadap Pendidikan Nasional
Sebelum UU No 20 / 2003 disahkan fungsi pendidikan agama telah dituangkan dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU Nomor 2 tahun 1989. Di sana disebutkan: "Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan tujuan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat dan mewujudkan persatuan nasional."[3]
Dari rumusan tersebut tampaknya terdapat konsistensi dan keterkaitan langsung antara rumusan fungsi pendidikan agama dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang pada pasal 4 UU nomor 2 tahun 1989 yaitu: "Mencerdaskan kehidupan Bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa."
Hal tersebut kemudian dipertegas lagi pada penjelasan pasal 15 UU No 20 / 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaaan pengetahuan tentang ajaran agama dan atau menjadi ahli ilmu agama.
Dalam upaya membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa, pendidikan agama memiliki peranan sangat penting. Untuk itulah pendidikan agama wajib diberikan pada semua satuan, jenjang, dan jenis pendidikan, baik melalui jalur sekolah maupun jalur luar sekolah.
Pendirikan agama sebagai institusi yang selama ini dikenal dengan nama madrasah serta pondok pesantren telah berakar, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tercatat dalam sejarah Pendidikan Nasional, satuan pendidikan tersebut telah ada sejak permulaan agama Islam masuk ke Indonesia atau paling lambat sudah dmulai pada abad ke-11.
Dengan demikian, kita tidak bisa menomorduakan lembaga pendidikan agama. Jika lembaga pendidikan agama, terutama madrasah, mampu memacu diri dengan berupaya maksimal meningkatkan kualitas dalam berbagai aspeknya tidak mustahil madrasah nantinya akan menjadi alternatif pertama pilihan masyarakat untuk memasukkan anak-anaknya. Bagaimana pun pada saat globalisasi melanda dunia seperti sekarang ini nilai-nilai etika dan moral sudah mulai luntur dan begeser. Dalam konteks ini, tulis Hasbullah, madrasah sangat strategis untuk membendung arus demoralisasi yang sangat merugikan tersebut.[4]

C. Implementasi Nilai-Nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pada pelaksanaannya sistem pendidikan nasional, baik yang berada pada jalur sekolah maupun pendidikan luar sekolah, paling tidak tampil dalam beberapa bentuk atau kategori yang secara subtansial memiliki perbedaan, baik dalam sifatnya maupun dalam implikasinya. Yakni, sebagai berikut.
1.      Keberadaan Mata Pelajaran Agama
Dalam dalam UU Nomor 2 tahun 1989 dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan dan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan. Dalam pengertian ini, pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam kurikulum semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia.
Sementara itu persoalan atau tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama sebagai suatu mata pelajaran di sekolah saat ini adalah bagaimana agar pendidikan agama tidak hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama, tetapi dapat mengarahkan anak didik untuk menjadi manusia yang benar-benar mempunyai kualitas keberagamaan yang kuat. Dengan demikian materi pendidikan agama tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi dapat membentuk sikap dan kepribadian peserta didik sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa dalam arti sesungguhnya. Apalagi pada saat-saat seperti sekarang yang tampaknya muncul gejala terjadinya pergeseran nilai-nilai yang ada sebagai akibat majunya ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.      Lembaga Penyelenggara Pendidikan Keagamaan.
Berkenaan dengan lembaga penyelenggaraan pendidikan keagamaan ini, tampak minimal ada tiga bentuk, yakni pesantren, madrasah-madrasah keagamaan (diniah), dan madrasah-madrasah yang termasuk pendidikan umum berciri khas agama, seperti madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah.
3.      Melekatnya Nilai-Nilai Agama pada Setiap Mata Pelajaran.
Bentuk ketiga ini pada dasarnya lebih subtil, namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik. Sebagai contoh dalam hal ini adalah pendidikan MIPA. Melalui pendidikan ini siswa mempelajari subtansi ke MIPA-an yang terdiri atas dalil-dalil, teori-teori, generalisasi-generalisasi, prinsip-prinsip MIPA, dan lainnya. Dengan penguasaan ini mereka dapat menerapkan MIPA untuk tujuan pemecahan masalah dan pengembangan Iptek. Di samping subtansi ke MIPA-an, ada dimensi nilai yang terkandung dalam pendidikan MIPA. Dengan demikian MIPA dapat menjadi wahana pendidikan nilai-nilai agama. Tentu saja banyak hambatan yang dihadapi, terutama menyangkut kemampuan para pendidiknya, baik menyangkut penguasaan metode, maupun tuntutan seorang guru memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh, disertai kemampuannya untuk mengembangkan nilai-nilai iman dan takwa tersebut kepada para siswanya.
4.      Penanaman Nilai-Nilai Agama di Keluarga
Keluarga merupakan bagian dari penddikan luar sekolah sebagai wahana pendidikan agama yang paling ampuh. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama yang utama bagi seorang dengan orangtua sebagai kuncinya. Pendidikan dalam keluarga terutama berperan dalam mengembangkan watak kepribadian nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral serta ketrampilan sederhana.
D. Kedudukan dan Kekuatan Pendidikan Agama
            Sebagaimana sudah disinggung pada bagian sebelumnya, pendidikan agama di Indonesia mempunyai kedudukan yang kuat. Apalagi sejak UU nomor 20 tahun 2003 disahkan. Meskipun UU tersebut memiliki sederet kontroversi, namun disahkannya undang-undang tersebut membuktikan bahwa Indonesia mencampurkan urusan agama dengan urusan negara.
            Berbeda dengan apa yang dianut oleh bangsa-bangsa eropa, di mana agama sudah dipisahkan dengan negara. Dalam negara-negara eropa agama adalah urusan pribadi masing-masing yang intim. Dan mereka menganggap agama tidak patut dicampuradukkan dengan urusan negara atau pemerintah.
            Indonesia, sebagai negara dengan pemeluk islam terbesar di dunia, ternyata masih memandang penting agama untuk diikutserakan dalam urusan pemerintahan. Banyak pertentangan terjadi di sini. Bagi kami sendiri, menganggap tidak masalah pemerintah ikut mengurusi agama. Namun, perlu diingat bahwa jangan sampai agama dipolitisasi sedemikian rupa dan dijadikan alat oleh negara. Agama pada dasarnya adalah sesuatu yang independent. Dan jika pemerintah tetap berkeinginan ikut campur di dalamnya, maka pemerintah mesti sangat hati-hati. Ditakutkan, jika pemerintah ikut campur terlalu dalam maka akan melanggar hak asasi manusia.
            Dengan disahkannya UU No 20 tahun 2003 maka kita sudah selayaknya menjalankan apa yang tertuang di dalamnya. Apa-apa yang diperdebatkan sebelum UU tersebut disahkan tentunya tidak patut lagi kita ungkit. Palu sudah diketuk. Dan kita mesti mematuhi apa yang digariskan pemimpin, demi terselenggaranya kehidupan yang selaras dan seimbang. namun begitu, tidak ada salahnya kita kembali menengok sekilas mengenai kontroversi sisdiknas yang dulu sangat ramai dibincangkan.
E. Kontroversi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
Undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) yang melahirkan kontroversi kini sudah diabsahkan. Merunut ke belakang, kontroversi itu terutama dipicu adanya masalah pendidikan agama seperti dijelaskan dalam pasal 12 ayat (1) UU Sisdiknas. Di dalam Bab V tentang Peserta Didik pada pasal 12 ayat (1) huruf (a) dinyatakan:
(1)   Setiap Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh yang seagama.[5]
Di sini setidaknya muncul dua problem, yakni pertama, apakah pendidikan agama bisa diberikan oleh guru yang seagama atau cukup guru yang memiliki kompetensi walaupun mereka berbeda keyakinan agama; dan kedua, apakah pendidikan harus diberikan kepada semua jenjang dan jenis pendidikan atau apakah cukup di beberapa satuan pendidikan tertentu saja.
Jika kita kembali ke belakang, menengok sejarah, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pernah mengusulkan kepada Menteri PP dan K (Penidikan Pengajaran dan Kebudayaan) yang saat itu dijabat Mr. Suwandi (2 Oktober 1946-27 Juni 1947) agar dilaknakanan pendidikan agama di sekolah. Lantas usul itu ditnggapi oleh pemerintah. Dan kemudian dibentuklah panitia Penyidik Pengajaran dibawah pimpinan Ki Hajar Dewantara. Salah satu hasil dari kerja tersebut adalah perlu dilaksanakannya pendidikan agama di sekolah untuk dilakukan kerja sama antara Menteri Agama dan Menteri P dan K. Kerja antara dua departemen ini membuahkan beberapa surat keputusan bersama sebagai pedoman oprasional pendidikan agama di sekolah.
Siapa pun yang mengikuti pembahasan RUU Sisdiknas dulu, mungkin akan sepakat bahwa adanya penjelasan pasal 28 ayat 2 UU Nomor 2 tahun 1989 ke dalam naskah RUU Sisdiknas (kini sudah disahkan) yang baru ini setidaknya mencerminkan dua pertentangan utama.
1.    Pihak yang sepakat dan merasakan bahwa pendidikan agama sangat penting diberikan kepada siswa karena hal tersebut merupakan bekal moral siswa dalam menghadapi, mengapresiasi, dan mengintrepretasikan masalah-masalah dalam kehidupannya. Dalam kasus kali ini, pihak yang sekapat diwakili oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan beragai organisasi Islam yang mendukung atas usulan draf tersebut. Mereka menilai bahwa justeru UU Sisdiknas itu menghargai prularisme dan otonomi pendidikan.
2.    Pihak yang menentang adanya pendidikan agama beralasan bahwa telah terjadi pemaksaan dan juga formalisasi keagamaan bagi anak didik. Dan itu melanggar kebebasan beragama, hak asasi manusia (HAM), dan toleransi beragama sebagai bagian dari upaya menciptakan kehidupan yang harmonis. Masyaraat yang menentang mengganggap draf itu kurang memperhatikan pluralisme pendidikan (masyarakat) dan tidak memberikan ruang kebebasan (otonomi) pendidikan yang sedang digalakkan.[6]
Menanggapi hal itu Benny Susetyo menjelaskan, dalam kasus kontroversi UU Sisdiknas ini penting sekali untuk menunjukkan bahwa peran penting guru tidak bisa diabaikan. Pendidikan agama yang diformalisasikan sedemikian rupa sama sekali tidak menjamin mengubah perilaku siswa menjadi baik secara otomatis. Selama ini kita tahu dan menyadari bahwa pendidikan agama tidak mampu mengubah siswa menjadi baik.[7]
Bagi kalangan yang kontra menambah apologinya dengan menyatakan bahwa dalam pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas sudah dinyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan pluralitas bangsa. Tidak banyak orang menaruh tafsir yang ambigu ketika menyatakan bahwa salah satu jalan untuk mencapai pintu masuk ke dalam kesadaran HAM dan pluralisme serta demokrasi adalah dengan memberikan pendidikan agama bagi siswa. Mereka yang tidak sepakat, mengaku takut jika undang-undang ini diterapkan maka konflik-konfilik antaretnis, antar agama dan antar-kelas sosial kembali meruak. Sebab, kita tahu masyarakat Indonesia begitu majemuk.
Seberapa pun kuatnya pro-kontra itu, toh undang-undang Sisdiknas tetap disahkan. Dan sepertinya memang undang-undang tersebut perlu disahkan. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh mereka yang tidak setuju pada pasal yang mengandung provokasi itu bisa dibilang lemah. Mereka mengakui pendidikan agama itu perlu dan penting. Selain juga menambahkan bahwa jika pendidikan agama di sekolah tetap dijalankan maka akan menyandera hak asasi manusia yang pokok yakni, kebebasan beragama. Logikanya tersebut terlihat keliru. Siapa pun tetap berhak beragama menutur keyakinan dan kepercayaannya dan bisa berpindah agama kapan saja. Jadi, yang salah sebenarnya bukan undang-undang tersebut.
Selain itu, kegagalan pendidikan agama yang mereka lontarkan dengan membeberkan fakta-fakta seperti banyaknya tidak kriminal dan korupsi, bukanlah kesalahan adanya pendidikan agama. Akan tetapi bisa jadi ada kesalahannya ada pada pengajaran agama atau hal lain yang perlu diperbaiki. Kemudian, bukankah selayaknya peserta didik mendapat pengajaran dari orang yang seagama, bukan orang yang diluar agamanya yang tidak kompeten. Pengajaran agama tentu saja tidak hanya membutuhkan pengetahuan tetapi keikhlasan dan penghayatan. Adakah mereka yang berbeda agama akan ikhlas dan mengahayati ketika mengajarkan agama yang tidak dianutnya? Anda tahu sendiri jawabannya.
Meskipun demikian, dalam tataran teknis pasal yang kontroversial di atas mengalami kesulitan dan belum sempurna diterapkan hingga sekarang. Apa boleh buat.
F. Pendidikan Agama Bebasis Multikultural dan Religion Culture
Pada masa orde baru (Orba), perbedaan dianggap memiliki potensi berbahaya yang akan menyebabkan kesatuan bangsa menjadi chaos. Realitas masyarakat dengan keragamannya direpresi dan didekontruksi sesuai dengan arah kebijakan Orba. Salah satunya dengan menyeragamkan dan menihilkan entitas budaya lokal yang akhirnya menjadi tabir terciptanya dialog antar kultur dari mayarakat adat yang berbeda.
Pasca pemerintah Orba, kita banyak meyaksikan tragedi kemanusiaan yang demikian memilukan. Konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan, seperti yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Dayak, dan beberapa daerah lainnya adalah relitas empirik yang mengancam integrasi bangsa di satu sisi, namun membutuhkan solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Salah satunya adalah dengan membangun kembali pondasi keanekaragaman masyarakat dengan cara pendidikan multikulturalisme.
Pendidikan monokutur dengan mengabaikan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, disadari atau tidak telah memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif. 
Ide multikulturalisme menurut Taylor (Savirani, 2003: 385) adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002: 98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Secara mudah dapat dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan. Meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan, namun tidak ada masyarakat kelas, karena multikultularisme mengakui adanya politik universalisme yang menekenkan persamaan hak, kewajiban dan  harga diri. Yang diajarkan dalam pendidikan multikulturalisme bukan semangat ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat, tetapi lebih menekankan pada pengakuan adanya pluralitas (bhinneka) budaya bangsa yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis.
Pendidikan agama sudah semestinya juga mengajarkan tentang keberagaman. Dan tidak bersifat doktriner. Komarudin Hidayat, dalam wawancaranya dengan Ulil Absar Abdala menyatakan bahwa, di sekolah Madania, para siswa tidak hanya diperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam, tetapi juga dikenalkan bagaimana ritual Hindu, Budha, Kristen, dsb. Dengan melakukan hal semacam itu secara tidak langsung kita sudah menanamkan sikap untuk toleran terahadap agama-agama lain. 
Selain itu, pengajaran agama yang menyajikan bahan-bahan pengetahuan dasar menyangkut pelajaran inti seperti sakramen, doa-doa inti, kewajiban-kewajiban inti yang orientasinya lebih pada pendalaman akan nilai-nilai, bukan lagi pada indoktrinasi, tapi juga menyentuh hal-hal mendasar penghargaan akan nilai-nilai kehidupan, kejujuran, tanggung jawab. Intinya, agama terkait dengan kehidupan yang konkret bukan kesemuan belaka.
Baru-baru ini kita mengenal sebuah metode pembelajaran agama yang sangat brilian. Yakni religion cultute. Sebagai sebuah metode, religion culture sangat bagus untuk diterapkan pada sistem pendidikan agama di Indoensia. Jika selama ini pendidikan dianggap gagal membawa para siswa memiliki akhlak dan ketakwaan yang bagus maka religion culture menawarkan sebuah metode baru yang segar dan memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan agama.
Pada dasarnya pendidikan religion culture adalah pendidikan dengan menciptakan sebuah ruang belajar yang agamis. Ruang, kita tahu, akan sangat mempengaruhi pergembangan belajar anak didik. Ruang yang ideal bagi lancarnya pendidikan agama adalah ruang yang di dalamnya nilai-nilai agama dipraktikkan oleh semua penghuninya, baik pendidik, siswa, penjual, tukang kebun, dan semua yang tinggal di dalamnya, dalam hal ini sekolah.
Sebenarnya, pesantren sudah mempraktikkan metode pembelajaran ini sejak lama. Namun begitu di pesantren, pembelajaran berlangsung sentralistik, ritualistik, dan doktriner sekali. Sehingga setelah santri/peserta didik keluar dari pesantren ia sering tidak memegang subtansi dan nilai-nilai agama itu sendiri. Dan iman serta ketakwaannya menjadi mudah goyah ketika bertemu kembali dengan dunia luar yang ruwet dan semrawut.
Untuk itu, religion cultur mesti dipelajari lebih dalam. Bisa dengan mengikutkan siswa didik dalam forum-forum perencanaan pembelajaran. Dengan demikian, siswa didik akan mencapai to be religion, bukan to have religion. Jadi, kita butuh kurikulum yang segar dalam mata pelajaran agama. Sepakat?
F. Penutup
            Pendidikan agama dalam sitem pendidikan nasional telah mendapatkan posisi yang penting. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa memang sudah selayaknya pendidikan agama menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, pendidikan agama yang selama ini telah kehilangan ruhnya, mestilah dikembalikan. Pengajaran pendikan agama tidak semestinya bersifat dontriner dan tertutup. Akan tetapi pengajaran agama di sekolah harus bisa menyentuh nilai-nilai yang subtansial. Dengan begitu konflik-konflik antar agama tidak terulang dan siswa didik bisa respon dengan ketidakadilan, penindasan, dan segala penyimpangan sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

G. Daftar Pustaka
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Penerbit L-KiS: Yogyakarta, 2005.
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional , Dirjen Binbaga Islam: Jakarta, 1992
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Grafindo Persada: Jakarta, 2005.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung: Jakarta, 1985.
Radja Madyahardjo, Filsafat Pendidikan, Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2001.


[1] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Grafindo Persada: Jakarta, 2005, hlm. 149-151
[2] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung : Jakarta, 1985. hlm. 6.
[3] Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan: Sistem Pendidikan Nasional , Dirjen Binbaga Islam: Jakarta, 1992, hlm. 41.  
[4] Hasbullah, Op. Cit., hlm. 155
[5] Pasal 12 ayat (1) pon a Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[6] Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Penerbit L-KiS:   Yogyakarta, 2005, hlm. 42-43.
[7] Ibid, hlm. 43.