Kafa’ah
berasal dari kata asli al-kufu yang
diartikan musawi ( keseimbangan). Ketika diartikan dengan nikah kafa’ah berarti
keseimbangan antara suami dan sitri baik dalam
kedudukan nasab, agama keturunan, dll.
Teori-teori
tentang konsep kafa’ah ada dua teori pertama, oleh M.
M Brafmann yang berpendapat konsep ini muncul sebelum pra Islam. Untuk
mendukungnya Ia mengungkap suatu kasus yang pernah terjadi: misal kasus rencana
pernikahan Bilal. Sementara teori kedua dimotori oleh Coulson dan Farhat J
Zeideh mengatakan konsep ini bermula dari irak, khususnya kuffah dimana Abu
Hanifah hidup
Pandangan Fuqaha
- Mazdhab Maliki
M. Abu Zahra
menulis Imam Malik tidak menjadikan nasab, harta dan kekayaan sebagai kualifikasi
kesekufuan seseorang. Menurut mazdhab ini unsur yang menjadikan kesekufuan wanita adalah taqwa, kesalehan dan tidak
mempunyai cacat. Sementara sumber lain mengatakan bahwa agama,
kemerdekaan dan ‘aib yang menjadi kualifikasi seseorang dalam menerapkan
kekufuan.
2. Mazdhab Hanafi
Ulama’ ini
menetapkan kekufuan menjadi 6 kualifikasi: Yaitu keturunan,
nasab, agama harta, kekuatan moral, dan pekerjaan. Hubungannya dengan
keturunan secara umum disetujui oleh abu hanifah, bahwa arab tidak sekufu
dengan non arab Qurays tidak sekufu dengan Qurays lain.
Kuslifikasi
agama yang dimaksud adalah ditekankan pada agama
walinya. Kemerdekaan juga begitu. Sedang yang dimaksud kekayaan adalah kemampuan untuk membayar mahar dan
nafkah. Namun Abu Yusuf mempunyai pendapat lain yaitu lebih ditekankan pada
kemampuan memberi nafkah dari pada membayar mahar. Kualifikasi kelima yaitu
budi pekerti, yang dimaksud dengan ini seperti yang oleh al- Sarakhsi
diistilahkan dengan hasab. Menurut abu hasan al- syahbani, dianah ditetapkan sebagai kualifikasi. Sedang abu Hanifah dan abu
Yusuf tidak, kecuali sang calon memang
benar-benar menampakan kefasikan. Kekayaan sebagai kualifikasi keenam disini mengandung arti abu hanifah mengatakan
tukang cukur, tukang sapu dan penenum tidak sekufu dengan pedagang kain dan
minyak wangi.
3. Mazdhab Syafi’i
Sebagaimana
dicatat oleh abu Zahra syafi’iyah hampir sama dengan hanafiyah, al- Syafi’i
menambahkan sang calon suami itu tidak mempunyai cacat.
Syafi’i juga menekankan pada kemerdekaan, dan tidak
menjadikan kekayaan sebagai kualifikasi. Abu zakaria yahya al- Nawawi mencatat
6 kualifikasi. Yaitu bebas dari penyakit yang bisa
melahirkan khiyar, kemerdekaan,
keturunan, agama, kebaikan moral.
4. Mazdhab Hambali
Sumber pertama
mengatakan, Ahmad mempunyai ide yang sama dengan al- Syafi’i, menurut ahmad
tidak mempunyai cacat bukan dalam arti jasmani. Sementara sumber kedua
mngatakan ahmad hanya mencantumkan unsur taqwa
sama dengan imam Malik. Adapun pihak yang harus memenuhi kafa’ahaah tersebut
menurut imam malik bisa ditinjau dari pihak Istri
pada dua kasus. Pertama kalau nikahnya waktu kecil, atau nikah dengan seorang
yang gila.
C. Konsep Perundang-undangan
- Peruu-an RI
Dalam KHI
bahwa ketidak sekufuan tidak menjadi alasan mencegah pernikahan.
- peruuan negara muslim lain
Standar ukuran
sekufu atau tidak menjadi tidak seragam. Dalam UU Lebanon
masalah kafa’ah mnjadi bagian sendiri, bagian ketiga dari bab. Ke 3 pasal
54-51. yaitu menekankan pada tataran ekonomi,
pekerjaan dan sejenisnya.
UU. syiria mengatakan kafa’ah pada bab 4 dari bab 2, disebutkan adalah
menjadi syarat syah nikah laki-laki sekufu dengan wanita dalam hal status sosial. Sama dengan UU Kuwait kafa’ah
menjadi bahsaan sendiri, bub bag ke—3 dari bag ke-2 pasal 34-39.
D. Analisis
Alasan yang mendukung teori-teori tentang kafa’ah adalah
hadis-hadis Nabi bukan Al- Qur’an dan itu pun termasuk kelompok
hadis yang lemah adapun alasan akal bahwa tujuan nikah adalah untuk
meraih kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan , mnenurut mereka tanpa adanya kafa’ah pasangan tidak akan bisa atau minimal tidak
mampu untuk membina rumah tangga dan menyingkirkan hambatan-hambatannya.
Sementara yang menolak teori kafa’ah menyebutkan
bahwa Islam adalah agama yang menekankan persamaan diantara
sessama manisia , tanpa membedakan agama , suku, dan kekayaan, sunah
nabi juga menjelaskan kesetaraan diantara sesama manusia yang dikompromikan
dalam al- Qur’an