Wednesday, April 30, 2014

Kafa’ah dalam Perkawinan




Kafa’ah berasal dari kata asli al-kufu yang diartikan musawi ( keseimbangan). Ketika diartikan dengan nikah kafa’ah berarti keseimbangan antara suami dan sitri baik dalam kedudukan nasab, agama keturunan, dll.
            Teori-teori tentang konsep kafa’ah ada dua teori pertama, oleh M. M Brafmann yang berpendapat konsep ini muncul sebelum pra Islam. Untuk mendukungnya Ia mengungkap suatu kasus yang pernah terjadi: misal kasus rencana pernikahan Bilal. Sementara teori kedua dimotori oleh Coulson dan Farhat J Zeideh mengatakan konsep ini bermula dari irak, khususnya kuffah dimana Abu Hanifah hidup
Pandangan Fuqaha
  1. Mazdhab Maliki
M. Abu Zahra menulis Imam Malik tidak menjadikan nasab, harta dan kekayaan sebagai kualifikasi kesekufuan seseorang. Menurut mazdhab ini unsur yang menjadikan kesekufuan wanita adalah taqwa, kesalehan dan tidak mempunyai cacat. Sementara sumber lain mengatakan bahwa agama, kemerdekaan dan ‘aib yang menjadi kualifikasi seseorang dalam menerapkan kekufuan.
2.  Mazdhab Hanafi
Ulama’ ini menetapkan kekufuan menjadi 6 kualifikasi: Yaitu keturunan, nasab, agama harta, kekuatan moral, dan pekerjaan. Hubungannya dengan keturunan secara umum disetujui oleh abu hanifah, bahwa arab tidak sekufu dengan non arab Qurays tidak sekufu dengan Qurays lain.
Kuslifikasi agama yang dimaksud adalah ditekankan pada agama walinya. Kemerdekaan juga begitu. Sedang yang dimaksud kekayaan  adalah kemampuan untuk membayar mahar dan nafkah. Namun Abu Yusuf mempunyai pendapat lain yaitu lebih ditekankan pada kemampuan memberi nafkah dari pada membayar mahar. Kualifikasi kelima yaitu budi pekerti, yang dimaksud dengan ini seperti yang oleh al- Sarakhsi diistilahkan dengan hasab. Menurut abu hasan al- syahbani, dianah ditetapkan sebagai kualifikasi. Sedang abu Hanifah dan abu Yusuf  tidak, kecuali sang calon memang benar-benar menampakan kefasikan. Kekayaan sebagai kualifikasi keenam  disini mengandung arti abu hanifah mengatakan tukang cukur, tukang sapu dan penenum tidak sekufu dengan pedagang kain dan minyak wangi.
3. Mazdhab Syafi’i
Sebagaimana dicatat oleh abu Zahra syafi’iyah hampir sama dengan hanafiyah, al- Syafi’i menambahkan sang calon suami itu tidak mempunyai cacat. Syafi’i juga menekankan pada kemerdekaan, dan tidak menjadikan kekayaan sebagai kualifikasi. Abu zakaria yahya al- Nawawi mencatat 6 kualifikasi. Yaitu bebas dari penyakit yang bisa melahirkan khiyar, kemerdekaan, keturunan, agama, kebaikan moral.
4. Mazdhab Hambali
Sumber pertama mengatakan, Ahmad mempunyai ide yang sama dengan al- Syafi’i, menurut ahmad tidak mempunyai cacat bukan dalam arti jasmani. Sementara sumber kedua mngatakan ahmad hanya mencantumkan unsur taqwa sama dengan imam Malik. Adapun pihak yang harus memenuhi kafa’ahaah tersebut menurut imam malik bisa ditinjau dari pihak Istri pada dua kasus. Pertama kalau nikahnya waktu kecil, atau nikah dengan seorang yang gila.
C. Konsep Perundang-undangan
  1. Peruu-an RI
Dalam KHI bahwa ketidak sekufuan tidak menjadi alasan mencegah pernikahan.
  1. peruuan negara muslim lain
Standar ukuran sekufu atau tidak menjadi tidak seragam. Dalam UU Lebanon masalah kafa’ah mnjadi bagian sendiri, bagian ketiga dari bab. Ke 3 pasal 54-51. yaitu menekankan pada tataran ekonomi, pekerjaan dan sejenisnya.
UU. syiria mengatakan kafa’ah  pada bab 4 dari bab 2, disebutkan adalah menjadi syarat syah nikah laki-laki sekufu dengan wanita dalam hal status sosial. Sama dengan UU Kuwait kafa’ah menjadi bahsaan sendiri, bub bag ke—3 dari bag ke-2 pasal 34-39.

D. Analisis
Alasan yang mendukung teori-teori tentang kafa’ah adalah hadis-hadis Nabi bukan Al- Qur’an dan itu pun termasuk kelompok hadis yang lemah adapun alasan akal bahwa tujuan nikah adalah untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan , mnenurut mereka tanpa adanya kafa’ah  pasangan tidak akan bisa atau minimal tidak mampu untuk membina rumah tangga dan menyingkirkan hambatan-hambatannya.
Sementara yang menolak teori kafa’ah menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang menekankan persamaan diantara sessama manisia , tanpa membedakan agama , suku, dan kekayaan, sunah nabi juga menjelaskan kesetaraan diantara sesama manusia yang dikompromikan dalam al- Qur’an