Wednesday, May 14, 2014

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM



BAB I. PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut.
Berpijak dari pandangan itu Konstruktivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit.
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam minda manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah, maktab dan universiti tetapi tidak begitu ketara dan tidak ditekankan.Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa/anak didik dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan menurut pengalaman masing – masing.
Pembelajaran dalam konteks Konstruktivisme merupakan hasil dari usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid sesuai dengan prinsip Student centered bukan teacher centered. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu suatu aktifitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan dalam proses pemikiran anak. Pikiran murid tidak akan menghadapi suatu realitas yang berwujud secara terasing dalam lingkungan sekitar.Kenyataan yang diketahui murid adalah realitas yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap kelanjutan pola pengetahuan dan pemikiran mereka.
Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil kira struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila istilah baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Hal inilah yang biasa dinamakan dengan konstruktivisme.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dan Ruang Lingkup Teori Konstruktivisme?
2.      Apa Prinsip-prinsip dan hakikat anak menurut teori Konstruktivistik?
3.      Bagaimanakah mengimplementasikan Teori Konstruktivisme dalam Pendidikan Islam?

C.    Tujuan
1.      Memahami Pengertian dan Ruang Lingkup Teori Konstruktivisme?
2.      Mengetahui apa Prinsip-prinsip dan hakikat anak menurut teori Konstruktivistik?
3.      Dapat mengimpementasikan Teori Konstruktivisme dalam Pendidikan Islam?







BAB II.
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Teori Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.  Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5.   Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6.   Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
dalam konstruktivisme ada dua prinsip asas yang mempengaruhi corak pelaksanaan pendidikan (Effendi, 2007: 100):
1.      Pengetahuan bukannya diterima secara pasif, tetapi dibina secara aktifoleh pihak yang belajar.
2.      Fungsi kognitif adalah untuk menyesuaikan dan memberi khikmad mengorganissasi dunia pengalaman bukannya melalui reality ontology.
Menurut Wheatley (1991: 12) berpendapat dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Dari pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

B.     Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
a.       memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
b.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
c.       Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
d.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa. mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
e.       Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5). ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi, juga dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

C.    Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme

 Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
1.   Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.   Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3.   Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.   Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5.   Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6.   Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar
7.   Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8.   Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9.   Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10.  Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
11.  Menekankan bagaimana siswa belajar
12.  Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13.  Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
14.  Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15.  Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
16.  Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata

\
D.    Kelebihan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme
Dalam setiap metode pembelajaran apapun kita tidak dapat dijumpai teori-teori yang sempurna untuk diterapkan dan di implementasikan. Begitu juga teori yang dibahas saat ini, berikut beberapa kelebihan dan kekurngan teori konstruktivisme.
Kelebihan Teori Konstruktivisme :
1)      Berfikir alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2)      Faham : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3)      Ingat : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4)      Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5)      Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.

Kelemahan Teori Konstruktivisme :
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini bisa kita lihat dalam proses pembelajaran dimana peran guru sebagai pendidik kurang begitu mendukung.

E.     Implikasi Teori Konstruktivisme di Kelas
      Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di kelas.
1.      Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Berpikir mandiri berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa
2.      Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
3.      Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
4.      Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
5.       Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
6.      Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.

F.     Penerapan pembelajaran konstruktivisme dalam pendidikan islam
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organism yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Pembelajaran konstruktivisme yang sifatnya membangun peserta didik berangkat dari tidak mengetahui menjadi mengerti atas hal yang belum di pahami, pada hakikatnya sama dengan mengkonstruk suatu hal yang belum bernmanfaat menjadi berguna dengan menggunakan metode-metode tertentu.
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas pada implikasi teori konstruktivisme dikelas, sedikit berbeda pada penerapan pembelajaran konstruktivisme dalam pendidikan islam. penerapan pembelajaran konstruktivisme dalam pendidikan islam selain memotivasi peserta didik  juga dengan menggunakan teknik- teknik pendidikan dalam Islam, menurut Muhammad Quthb, 2010: 325) yaitu:
1.      Memberikan pendidikan melalui teladan
Adalah suatu teknik pendidikan yang efektif bila disampaikan kepada pesertadidik yaitu dengan memberikan contoh – contoh yang baik melalui cerita. Misalnya diambilkan dalan Alquran kisah Nabi Yusuf, Kisah Qorun dsb.
2.      Pendidikan melalui nasehat
Dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar.pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan karna itu kata-kata harus diulangi. Nasehat yang berpengaruh membuka jalan kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan.
3.      Pendidikan melalui hukuman
Pendidikanyang halus, lembut dan menyentuh perasaaan seringkali berhasil dalam  mendidik anak-anak, tetapi pendidikan yang terlampau halus dan menyentuh perasaan akan sangat berpengaruh jelek karena membuat jiwa tidak setabil. Setidaknya Bila teladan tidak mampu dan begitu juga  dengan nasihat, maka perlu diadakan hukuman[1] sebagai bentuk tanggung jawab pribadi seseorang.
4.      Pendidikan melalui cerita
Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan, salah satu mengatasi kejenuhan peserta didik yaitu dengan bercerita.
5.      Pendidikan melalui kebiasaan
Islam mempergunakan kebiasaan sebagai salah satut teknik pendidikan. Dengan mengubah  sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, jiwa dapat melakukan kebiasaan itu dengan mudah dan tanpa kehilangan banyak tenagadan tanpa menemukan kesulitan banyak.
6.      Pendidikan melalui pengisian kekosongan
Kekosongan merusak jiwa seperti halnya kekuatan terpendamyang tak tersalurkan.kerusakan yang timbul karena kekosongan adalah habisnya kekuatan potensial.
7.      Pendidikan melalui peristiwa
0hidup ini pejuangan dan merupakan pengalaman-pengalaman yang berbagi peristiwa, baik yang timbul karena tindakannya sendiri maupun sebab-sebab diluar kemauannya. Guru yang bik tidak akan begitu saja membiarkan peristiwa belalu begitu saja tanpa mengambil dan menjadikannya pengalaman yang berharga.

BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulannya pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan Konstruktivisme akan memberi peluang kepada guru untuk memilih kaidah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan murid dapat menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau pengetahuan. Disamping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kefahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi. Selain itu, beban guru sebagai pengajar akan berkurangan di mana guru lebih bertindak sebagai pemudahcara atau fasilitator.
Pembelajaran secara Konstruktivisme berdasarkan beberapa pandangan baru tentang ilmu pengetahuan dan bagaimana boleh diperolehi ilmu tersebut. Pembentukan pengetahuan baru lahir daripada gabungan pembelajaran terlebih dahulu. Pembelajaran ini menggalakkan peserta didik mencipta penyelesaian mereka sendiri dan menguji dengan menggunakan hipotesis-hipotesis dan idea-idea baru.
Metode pendidikan Islam merupakan metode yang khas tersendiri baik dari segi alat maupun dari segi tujuannya, dengan suatu bentuk yang nyata dan menarik perhatian, serta membangkitkan minat untuk meneliti sumber ideologinya yang khas dalam perjalanan sejarah.


[1] Pendidikan dengan hukuman harus dibarengid an disempurnakan dengan pendidikan berbentuk ajaran-ajaran seperti teladan dan nasehat.