Tuesday, May 6, 2014

Mau Poligami? Baca ini Dulu!

Perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat, atau dalam bahasa lainnya disebut mitsaqan ghalizan. Al-Qur'an telah menyatakan bahwa perkawinan merupakan salah satu sunnatullah, hidup berpasang-pasangan yang telah menjadi naluri setiap makhluk termasuk manusia. [1]
Firman Allah:
و من كل شي خلقنا زو جين لعلكم تذ كرون          [2]
Dalam sebuah perkawinan, suami isteri yang telah berjanji untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah, senantiasa harus menjaga ikatan perjanjian tersebut. Salah satu caranya adalah dengan berpegang pada firman Allah:
هن لبا س لكم وانتم لبا س لهن[3]
Ayat di atas menjelaskan, bagaimana masing-masing pria dan wanita, sebelum diikat tali perkawinan, masih berada secara terpisah. Namun setelah perkawinan, mereka menjadi satu ikatan, baik lahir, maupun psikis. Suami menjadi bagian dari isteri dan begitu pula sebaliknya.
Meskipun demikian, tidak jarang di tengah kehidupan rumah tangga bermunculan berbagai masalah, baik yang terduga sebelumnya atau pun yang tidak terduga sama sekali. Atas dasar inilah kemudian, dibuat sebuah aturan untuk mengontrol dan mengatur masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan. Berkenaan dengan hal ini, al-Aqqad berpendapat bahwa, hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan, yaitu untuk mengadapi keadaan yang terjadi dan mungkin terjadi.[4]
Di Indonesia sendiri telah ada undang-undang yang mengatur masalah perkawinan, yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[5] Untuk mewujudkan perkawinan itu supaya kekal, maka asas perkawinan pada prinsipnya adalah monogami,[6] bukan poligami.
Sebelum Islam datang, poligami sudah umum dilakukan. Bahkan pada masa itu, tiap laki-laki dibebaskan menikahi perempuan tanpa dibatasi jumplahnya. Kemudian Islam datang dan tidak membiarkan poligami berkembang tanpa aturan. Namun, Islam juga tidak membuang atau melarang poligami. Hal ini tertuang dalam firman Allah:
وإ ن خفتم ا لا تقسطوافي اليتا مى فا نكحوا ما طا ب لكم من النسا ء مثنى وثلاث ورباع  فان خفتم الا تعد لوا فوا حد ة ا و ما ملكت ايما نكم ذ لك ا د نى
الا تعو لوا.[7]
Menurut jumhur ulama', surat an- Nisa' ayat 3 itu turun seusai perang uhud. Ketika itu banyak pejuang Islam yang gugur di medan perang. Dan sebagai konsekwensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan atau suaminya.[8]  
Pada dasarnya, syari'at Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban terhadap laki-laki muslim, tetapi merupakan suatu pilihan. Poligami dalam keadaan tertentu diperbolehkan dalam Islam untuk melanggengkan tali rumah tangga.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan beberapa syarat seorang suami untuk mendapatkan ijin poligami dari pengadilan, sebagaimana tertuang dalam pasal 5, yaitu:
a.      adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri.
b.     adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.      adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.[9] 
Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang tersebut memberi pengertian bahwa seorang suami yang dibolehkan berpoligami adalah suami yang bisa menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya.
Mengenai kewajiban memberi nafkah Allah berfirman:
الر جال قوا موا ن على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما ا نفقوا من امولهم فالصلحت قا نتت حا فظت للغيب بما حفظ الله واللتى تخفون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضا جح واضربوهن فإن اْ طعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كا ن عليا كبيرا . [10]
Menutur at-Tabāri, ayat di atas lebih menekangkan kepada kedudukan suami sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga, bukan kepemimpinan secara umum. Sebagai seorang pemimpin suami berkewajiban mendidik isterinya.[11] Kepemimpinan seorang suami berimplikasi pula pada kewajibannya untuk memberikan nafkah keluarga bagi isteri-isteri dan anak-anak mereka.[12]
Tanggung jawab untuk memberi nafkah bukanlah suatu tanggung jawab yang ringan. Apalagi bagi seorang suami yang memiliki isteri lebih dari satu. Ia harus mampu memberikan nafkah secara adil untuk isteri-isteri dan anak-anak mereka. Karenanya syarat poligami dalam pasal 5 ayat (1) phoin b Undang-undang Perkawinan tersebut harus benar-benar diperhatikan oleh seorang hakim sebelum surat ijin poligami diputuskan.
Pengadilan Agama Wonosobo Kelas 1.A adalah pengadilan tingkat pertama yang telah menerima, memeriksa, menyelidiki, dan menyelesaikan berbagai masalah perdata bagi mereka yang beragama Islam, termasuk perkara poligami. Dalam perkara poligami, Menteri Agama R.I telah mengeluarkan ketentuan pelaksanaan yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 3 Tahun 1975. Ketentuan ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan teknis yang harus dipatuhi Pengadilan Agama dalam memberikan ijin poligami. Pasal 1 ayat (2) h menyebutkan ijin beristeri lebih dari seorang dari Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa ijin beristeri lebih dari seorang.[13]
Permohonan ijin poligami yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan untuk meminta beristeri lebih dari seorang termasuk dalam perkara kontentius. Sebab, di dalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak yang berperkara.[14]
Apabila seorang suami tidak mendapat ijin dari isteri untuk berpoligami, maka isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Pemberian ijin dari isteri ini diperlukan untuk melindungi hak-hak isteri dalam mencari upaya hukum.


[1] Djaman Nur, Fiqih Munakahat,  (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 5.
[2] Aż-  Żāriyāt (51) : 49.
[3] Al-Baqarah (2) : 187
[4] Sebagimana dikutip oleh Drs Rif'at Syauqi Nawawi, Sikap Islam tentang Poligami dan Monogami, dalam T. Yanggo (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. II, hlm 108-109. Penjelasan selengkapnya dalam Al-Aqqad Abbas Mahmud, Falsafah Al-Quran, (Cairo: Dar al-Hilal, 1985).   
[5] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[6] Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai satu isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai satu suami.
[7] An-Nisā' (4) : 3
[8] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi Kritis atas Pemikiran Muhammad Abduh, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 85.
[9] Pasal 5 Undang-undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[10] An-Nisā' (4): 34
[11] Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution dalam, Islam tentang Relasi Suami Isteri (Hukum Perkawinan I), (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2004) hlm. 169. Lebih jelasnya lihat, Abi Ja'far ibn Jarir al-Tabari, Jami' al- Bayan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Dar al- Ma'rifah, 1392/1972), V: 37-38.
[12] Ibid…, hlm. 169.
[13] Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Pengadilan Agama, (Bandung: ARMICO, 1984), hlm. 67-68.
[14] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. VI, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 39-41.