Perkawinan adalah
ikatan yang sangat kuat, atau dalam bahasa lainnya disebut mitsaqan ghalizan.
Al-Qur'an telah menyatakan bahwa perkawinan merupakan salah satu sunnatullah,
hidup berpasang-pasangan yang telah menjadi naluri setiap makhluk termasuk
manusia. [1]
Firman Allah:
Dalam sebuah
perkawinan, suami isteri yang telah berjanji untuk membina keluarga sakinah,
mawaddah, warrahmah, senantiasa harus menjaga ikatan perjanjian tersebut. Salah
satu caranya adalah dengan berpegang pada firman Allah:
هن لبا س لكم وانتم لبا س لهن[3]
Ayat di atas menjelaskan, bagaimana masing-masing pria
dan wanita, sebelum diikat tali perkawinan, masih berada secara terpisah. Namun
setelah perkawinan, mereka menjadi satu ikatan, baik lahir, maupun psikis.
Suami menjadi bagian dari isteri dan begitu pula sebaliknya.
Meskipun demikian,
tidak jarang di tengah kehidupan rumah tangga bermunculan berbagai masalah,
baik yang terduga sebelumnya atau pun yang tidak terduga sama sekali. Atas
dasar inilah kemudian, dibuat sebuah aturan untuk mengontrol dan mengatur
masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan. Berkenaan dengan hal ini,
al-Aqqad berpendapat bahwa, hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin
dan memelihara hakikat perkawinan, yaitu untuk mengadapi keadaan yang terjadi
dan mungkin terjadi.[4]
Di Indonesia
sendiri telah ada undang-undang yang mengatur masalah perkawinan, yaitu
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[5]
Untuk mewujudkan perkawinan itu supaya kekal, maka asas perkawinan pada
prinsipnya adalah monogami,[6]
bukan poligami.
Sebelum Islam
datang, poligami sudah umum dilakukan. Bahkan pada masa itu, tiap laki-laki
dibebaskan menikahi perempuan tanpa dibatasi jumplahnya. Kemudian Islam datang
dan tidak membiarkan poligami berkembang tanpa aturan. Namun, Islam juga tidak
membuang atau melarang poligami. Hal ini tertuang dalam firman Allah:
وإ
ن خفتم ا لا تقسطوافي اليتا مى فا نكحوا ما طا ب لكم من النسا ء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم الا تعد لوا فوا حد ة ا و ما ملكت ايما
نكم ذ لك ا د نى
Menurut jumhur
ulama', surat
an- Nisa' ayat 3 itu turun seusai perang uhud. Ketika itu banyak pejuang Islam
yang gugur di medan
perang. Dan sebagai konsekwensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal
mati oleh ayah dan atau suaminya.[8]
Pada dasarnya,
syari'at Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban terhadap
laki-laki muslim, tetapi merupakan suatu pilihan. Poligami dalam keadaan
tertentu diperbolehkan dalam Islam untuk melanggengkan tali rumah tangga.
Dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan beberapa syarat
seorang suami untuk mendapatkan ijin poligami dari pengadilan, sebagaimana
tertuang dalam pasal 5, yaitu:
a.
adanya persetujuan
dari isteri atau isteri-isteri.
b.
adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
c.
adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.[9]
Pasal 5 ayat (1) huruf
b Undang-undang tersebut memberi pengertian bahwa seorang suami yang dibolehkan
berpoligami adalah suami yang bisa menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri
dan anak-anaknya.
Mengenai kewajiban memberi nafkah Allah berfirman:
الر جال قوا موا ن على النساء بما فضل الله بعضهم على
بعض وبما ا نفقوا من امولهم فالصلحت قا نتت حا فظت للغيب بما حفظ الله واللتى تخفون
نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضا جح واضربوهن فإن اْ طعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا
إن الله كا ن عليا كبيرا . [10]
Menutur
at-Tabāri,
ayat di atas lebih menekangkan kepada kedudukan suami sebagai pemimpin dalam
sebuah keluarga, bukan kepemimpinan secara umum. Sebagai seorang pemimpin suami
berkewajiban mendidik isterinya.[11]
Kepemimpinan seorang suami berimplikasi pula pada kewajibannya untuk memberikan
nafkah keluarga bagi isteri-isteri dan anak-anak mereka.[12]
Tanggung
jawab untuk memberi nafkah bukanlah suatu tanggung jawab yang ringan. Apalagi
bagi seorang suami yang memiliki isteri lebih dari satu. Ia harus mampu
memberikan nafkah secara adil untuk isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Karenanya syarat poligami dalam pasal 5 ayat (1) phoin b Undang-undang
Perkawinan tersebut harus benar-benar diperhatikan oleh seorang hakim sebelum surat ijin poligami
diputuskan.
Pengadilan Agama
Wonosobo Kelas 1.A adalah pengadilan tingkat pertama yang telah menerima,
memeriksa, menyelidiki, dan menyelesaikan berbagai masalah perdata bagi mereka
yang beragama Islam, termasuk perkara poligami. Dalam perkara poligami, Menteri
Agama R.I telah mengeluarkan ketentuan pelaksanaan yang dinyatakan dalam
Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 3 Tahun 1975. Ketentuan ini berfungsi
sebagai pedoman pelaksanaan teknis yang harus dipatuhi Pengadilan Agama dalam
memberikan ijin poligami. Pasal 1 ayat (2) h menyebutkan ijin beristeri lebih
dari seorang dari Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa ijin beristeri
lebih dari seorang.[13]
Permohonan ijin
poligami yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang
berkepentingan untuk meminta beristeri lebih dari seorang termasuk dalam
perkara kontentius. Sebab, di dalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak
yang berperkara.[14]
Apabila seorang
suami tidak mendapat ijin dari isteri untuk berpoligami, maka isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi. Pemberian ijin dari isteri ini diperlukan
untuk melindungi hak-hak isteri dalam mencari upaya hukum.
[1] Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 5.
[2] Aż- Żāriyāt (51) : 49.
[3] Al-Baqarah (2) : 187
[4] Sebagimana dikutip oleh Drs Rif'at Syauqi Nawawi, Sikap Islam
tentang Poligami dan Monogami, dalam T. Yanggo (ed), Problematika Hukum
Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. II, hlm 108-109.
Penjelasan selengkapnya dalam Al-Aqqad Abbas Mahmud, Falsafah Al-Quran,
(Cairo: Dar al-Hilal, 1985).
[5] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[6] Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa, pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai satu isteri, seorang wanita hanya boleh
mempunyai satu suami.
[7] An-Nisā' (4) : 3
[8] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi Kritis atas
Pemikiran Muhammad Abduh, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
85.
[9] Pasal 5 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[10] An-Nisā' (4): 34
[11] Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution dalam, Islam tentang
Relasi Suami Isteri (Hukum Perkawinan I), (Yogyakarta:
ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2004) hlm. 169. Lebih jelasnya lihat, Abi Ja'far
ibn Jarir al-Tabari, Jami' al- Bayan fi Tafsir al-Qur'an, (Beirut: Dar
al- Ma'rifah, 1392/1972), V: 37-38.
[12] Ibid…, hlm. 169.
[13] Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di
Pengadilan Agama, (Bandung: ARMICO, 1984), hlm. 67-68.
[14] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,
Cet. VI, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 39-41.