Tinggal beberapa menit lagi usiaku genap
dua puluh enam. Ya Allah, sedemikian cepatnya waktu, telah membawaku seperempat
abad lebih. Aku tak tahu batas usiaku. Usia begitu gaib. Kematian tak pernah
jelas kapan datangnya. Dan karenanya aku harus selalu waspada.
Innashalati
wanusuki wamahyaya mamawati lillahirabbil alamin. Itulah yang kerap aku ucapkan
setiap sholat. Bahwa shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah
seru sekalian alam.
Dunia begitu
maya, menipu. Betapa telah banyak aku tertipu olehnya. Misal, aku
mengejar-ngejar sesuatu, ingin memiliki motor misalnya, dan ketika keinginan
itu terkabul, aku dikuntit oleh keinginan lain. Keinginan senantiasa hidup,
beranak pinak, tak pernah tuntas. Kesenangan-kesenangan yang kudapat hanyalah
fatamorgana semata. Harta dunia terkadang justru membawaku kepada lubang-lubang
kesesatan, kemalasan, ketidaksyukuran, kelupaa, kemaksiatan. Aku terkadang, dan
sering, merasa malas beribadah. Berdoa, membaca quran, shalat malam, hanya
ketika aku membutuhkan sesuatu. Ketika sesuatu itu Allah kabulkan, aku lena,
terpedaya, terperosok ke ceruk luka. Aku penuh dosa.
Ya, Allah
ampunilah hambamu ini. Engkau yang Rahman, yang Rahim, Yang maha memberi
penerang, cahaya, petunjuk kepada siapa yang Kau kehendaki. Jadikan aku salah
satu dari orang yang Kau kehendaki untuk Kau beri petunjuk, hidayah, cahaya,
dan rahmanmu.
Baiklah, inilah
muhassabah tahun 26 yang harus berbuah hikmah, perbaikan untukku di masa yang
datang. Akan kusambut mautku, akan kumanfaatkan sisa waktuku dengan penuh
semangat beribadah, berkurban, dan cinta untuk keluarga, sahabat, dan ummat
manusia sekalian.
Keluarga
Aku tahu, banyak
sekali telah berdosa dengan ibu bapakku. Mereka yang kutinggalkan di kampung,
tentu sangat merasa kesepian. Aku yang memilih tinggal di kontrakan, mestilah
bisa memperhatikan mereka, mengirim kabar, bertanya kabar, menjenguk, memberi
oleh-oleh dan hadiah, dan berusaha menyenangkannya dengan sesuatu yang mungkin
tidak pernah mereka duga.
Aku akan terus
mendoakan ayah dan ibuku, khususnya ayahku yang sudah sepuh. Agar mereka
senantiasa diberi kesabaran, kesehatan, dan istiqamah dalam beribadah. Aku
ingin selalu membuat mereka teduh. Aku tak akan lagi membantah dengan kasar apa
yang mereka perintahkan. Aku ingin mematuhi nasehat-nasehatnya. Akan memijit
Bapak, akan berbicara dengan cara yang lebih halus lagi.
Ayah, aku ingin
menangis setiap teringat beliau yang telah membesarkanku dan berjuang demi
pendidikanku. Ayah, sungguh, aku ingin memelukmu, berdoa terus untukmu, membuatmu
senang.
Mungkin, esok
siang, jika suasana cerah, aku akan ke kampung, menjenguknya. Membawa cucunya.
Agar hatinya tak kesepian.
Kelak, adikku
lulus. Aku akan senantiasa menitipkan pesan untuknya. Untuk sabar merawat dan
jika bisa menuntun ayah dan ibu untuk terus beribadah kepada Allah.
Ibu, aku sungguh
telah khilaf, karena melupakan ulang tahunmu kemarin. Aku ingin membelikanmu
sesuatu. Tapi aku berjanji, nanti, jika aku menang lomba, aku akan membelikanmu
sesuatu, mesin cuci, atau perhiasan atau baju untukmu, Ibu. Atau sepatu, tas.
Aku ingin melihatmu tersenyum. Aku ingin senantiasa kau doakan dan restui.
Keluarga.
Sudah dua tahun
pula aku berumah tangga. Istriku, jodohku, permaisuriku. Ia seorang perempuan yang
sabar, penuh perjuangan. Ia telah merawat abyad dengan penuh perhatian. Aku
sering salah mengartikan apa yang dialukannya. Ia lugu dan polos. Harus kau
bimbing dengan penuh kesabaran. Jagalah ia dari api neraka.
Aku dan istriku
sering marah-marah, cek-cok, hanya karena masalah-masalah sepele. Kenapa aku
tidak bisa bersabar. Setan terkutuk pastilah telah berpengaruh besar. Aku harus
senantiasa menyadari kalau diluar diriku ada makhluk yang senanntiasa
membujukku untuk armah, untuk mengeluarkan kata kasar yang menyakiti hatinya.
Aku harus sabar, istighfar, dan diam dari apda memilih adu mulut. Lalu, di saat
yang sepi, di saat mau berangkat tidur, akan aku terangkan kejadian-kejadian
sehari yang membuatku marah. Dengan begitu tak akan ada lagi pertengkaran.
Aku harus bisa
memahaminya. Aku ingin dia juga memahamiku. Tapi caraku selaam ini mungkin
teralalu buru-buru. Aku ingin cepat-cepat agar ia memahamiku sepenuhnya,
sehingga yang sering terjadi adalah pertengkaran. Buru-buru adalah syetan. Sabarlah.
Istrimu yang telah mencintaimu sejak dulu, dan telah kau cintai ssejak dulu
pula, pastilah akan mengerti kamu. Kau hanya membutuhkan kesabaran.
Mulai detik ini,
tak ada lagi pertengkaran terjadi di rumah kami. Kami akan hidup berdampingan,
penuh cerita lucu, saling memperhatikan, memahami, dan menasehati.
Kerja karya
Aku seakan tidak
bisa untuk tidak menulis. Ya ya ya, tapi masalahnya aku selalu memaksakan waktu
untuk menulis. Aku sering mengesampingkan hak istri dan anak dan lebih
mementingkan waktuku untuk menulis.
Luangkanlah
waktu untuk anak dan istri. Dengan ketenangan keluarga, aku tentu akan jauh
lebih bisa berkonstentrasi saat menulis. Istri dan anakku akan mendukung. Ia
akan semakin mencintaiku. Dan keluarga kami akan bahagia, karena saling
memperhatian.
Untuk malam
minggu. Tak usahlah menulis dulu, jika tidak untuk sesuatu yang mendesak.
Menuliskan pada saat-saat yang tepat, dan jangan dipaksakan. Ketika abyad
rewel, berhentilah dulu, tak perlu memaksa. Curahkan perhatianmu untuknya.
Untuk apa
sebenarnya menulis kalau bukan untuk kebahagiaan keluarga? Bukan harta yang aku
cari kan? Bukan uang? Bukan pujian? Bukan. Bukan. Aku menulis untuk menularkan
ilmu. Membagi ilmu, kisah, dan nasehat. Aku menulis untuk itu. Bukan untuk
apa-apa. Aku ingin tulisanku bermanfaat, di dunia dan diakhirat. Di dunia
menghasilkan rejeki dan kemaslahatan ummat, di akhirat aku berharap akan
mendapat pahala dari ilmu dan informasi yang telah kubagikan dengan tulisan.
Itu saja. Jadi teka perlu dipaksa-paksa. Sabar. Pelan-pelan.