Monday, May 5, 2014

Memaknai hari kelahiranku sendiri



Tinggal beberapa menit lagi usiaku genap dua puluh enam. Ya Allah, sedemikian cepatnya waktu, telah membawaku seperempat abad lebih. Aku tak tahu batas usiaku. Usia begitu gaib. Kematian tak pernah jelas kapan datangnya. Dan karenanya aku harus selalu waspada.
Innashalati wanusuki wamahyaya mamawati lillahirabbil alamin. Itulah yang kerap aku ucapkan setiap sholat. Bahwa shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam.
Dunia begitu maya, menipu. Betapa telah banyak aku tertipu olehnya. Misal, aku mengejar-ngejar sesuatu, ingin memiliki motor misalnya, dan ketika keinginan itu terkabul, aku dikuntit oleh keinginan lain. Keinginan senantiasa hidup, beranak pinak, tak pernah tuntas. Kesenangan-kesenangan yang kudapat hanyalah fatamorgana semata. Harta dunia terkadang justru membawaku kepada lubang-lubang kesesatan, kemalasan, ketidaksyukuran, kelupaa, kemaksiatan. Aku terkadang, dan sering, merasa malas beribadah. Berdoa, membaca quran, shalat malam, hanya ketika aku membutuhkan sesuatu. Ketika sesuatu itu Allah kabulkan, aku lena, terpedaya, terperosok ke ceruk luka. Aku penuh dosa.
Ya, Allah ampunilah hambamu ini. Engkau yang Rahman, yang Rahim, Yang maha memberi penerang, cahaya, petunjuk kepada siapa yang Kau kehendaki. Jadikan aku salah satu dari orang yang Kau kehendaki untuk Kau beri petunjuk, hidayah, cahaya, dan rahmanmu.
Baiklah, inilah muhassabah tahun 26 yang harus berbuah hikmah, perbaikan untukku di masa yang datang. Akan kusambut mautku, akan kumanfaatkan sisa waktuku dengan penuh semangat beribadah, berkurban, dan cinta untuk keluarga, sahabat, dan ummat manusia sekalian.

Keluarga

Aku tahu, banyak sekali telah berdosa dengan ibu bapakku. Mereka yang kutinggalkan di kampung, tentu sangat merasa kesepian. Aku yang memilih tinggal di kontrakan, mestilah bisa memperhatikan mereka, mengirim kabar, bertanya kabar, menjenguk, memberi oleh-oleh dan hadiah, dan berusaha menyenangkannya dengan sesuatu yang mungkin tidak pernah mereka duga.
Aku akan terus mendoakan ayah dan ibuku, khususnya ayahku yang sudah sepuh. Agar mereka senantiasa diberi kesabaran, kesehatan, dan istiqamah dalam beribadah. Aku ingin selalu membuat mereka teduh. Aku tak akan lagi membantah dengan kasar apa yang mereka perintahkan. Aku ingin mematuhi nasehat-nasehatnya. Akan memijit Bapak, akan berbicara dengan cara yang lebih halus lagi.
Ayah, aku ingin menangis setiap teringat beliau yang telah membesarkanku dan berjuang demi pendidikanku. Ayah, sungguh, aku ingin memelukmu, berdoa terus untukmu, membuatmu senang.
Mungkin, esok siang, jika suasana cerah, aku akan ke kampung, menjenguknya. Membawa cucunya. Agar hatinya tak kesepian.
Kelak, adikku lulus. Aku akan senantiasa menitipkan pesan untuknya. Untuk sabar merawat dan jika bisa menuntun ayah dan ibu untuk terus beribadah kepada Allah.
Ibu, aku sungguh telah khilaf, karena melupakan ulang tahunmu kemarin. Aku ingin membelikanmu sesuatu. Tapi aku berjanji, nanti, jika aku menang lomba, aku akan membelikanmu sesuatu, mesin cuci, atau perhiasan atau baju untukmu, Ibu. Atau sepatu, tas. Aku ingin melihatmu tersenyum. Aku ingin senantiasa kau doakan dan restui.
Keluarga.
Sudah dua tahun pula aku berumah tangga. Istriku, jodohku, permaisuriku. Ia seorang perempuan yang sabar, penuh perjuangan. Ia telah merawat abyad dengan penuh perhatian. Aku sering salah mengartikan apa yang dialukannya. Ia lugu dan polos. Harus kau bimbing dengan penuh kesabaran. Jagalah ia dari api neraka.
Aku dan istriku sering marah-marah, cek-cok, hanya karena masalah-masalah sepele. Kenapa aku tidak bisa bersabar. Setan terkutuk pastilah telah berpengaruh besar. Aku harus senantiasa menyadari kalau diluar diriku ada makhluk yang senanntiasa membujukku untuk armah, untuk mengeluarkan kata kasar yang menyakiti hatinya. Aku harus sabar, istighfar, dan diam dari apda memilih adu mulut. Lalu, di saat yang sepi, di saat mau berangkat tidur, akan aku terangkan kejadian-kejadian sehari yang membuatku marah. Dengan begitu tak akan ada lagi pertengkaran.
Aku harus bisa memahaminya. Aku ingin dia juga memahamiku. Tapi caraku selaam ini mungkin teralalu buru-buru. Aku ingin cepat-cepat agar ia memahamiku sepenuhnya, sehingga yang sering terjadi adalah pertengkaran. Buru-buru adalah syetan. Sabarlah. Istrimu yang telah mencintaimu sejak dulu, dan telah kau cintai ssejak dulu pula, pastilah akan mengerti kamu. Kau hanya membutuhkan kesabaran.
Mulai detik ini, tak ada lagi pertengkaran terjadi di rumah kami. Kami akan hidup berdampingan, penuh cerita lucu, saling memperhatikan, memahami, dan menasehati.

Kerja karya
Aku seakan tidak bisa untuk tidak menulis. Ya ya ya, tapi masalahnya aku selalu memaksakan waktu untuk menulis. Aku sering mengesampingkan hak istri dan anak dan lebih mementingkan waktuku untuk menulis.
Luangkanlah waktu untuk anak dan istri. Dengan ketenangan keluarga, aku tentu akan jauh lebih bisa berkonstentrasi saat menulis. Istri dan anakku akan mendukung. Ia akan semakin mencintaiku. Dan keluarga kami akan bahagia, karena saling memperhatian.
Untuk malam minggu. Tak usahlah menulis dulu, jika tidak untuk sesuatu yang mendesak. Menuliskan pada saat-saat yang tepat, dan jangan dipaksakan. Ketika abyad rewel, berhentilah dulu, tak perlu memaksa. Curahkan perhatianmu untuknya.
Untuk apa sebenarnya menulis kalau bukan untuk kebahagiaan keluarga? Bukan harta yang aku cari kan? Bukan uang? Bukan pujian? Bukan. Bukan. Aku menulis untuk menularkan ilmu. Membagi ilmu, kisah, dan nasehat. Aku menulis untuk itu. Bukan untuk apa-apa. Aku ingin tulisanku bermanfaat, di dunia dan diakhirat. Di dunia menghasilkan rejeki dan kemaslahatan ummat, di akhirat aku berharap akan mendapat pahala dari ilmu dan informasi yang telah kubagikan dengan tulisan. Itu saja. Jadi teka perlu dipaksa-paksa. Sabar. Pelan-pelan.