1. Pengertian
Nafkah
Nafkah memiliki arti berlanja untuk hidup,
pendapatan (uang) belanja yang diberikan kepada istri, bekal hidup sehari-hari.[1]
Nafkah Juga bisa diartikan pembelanjaan dalam perkawinan.[2]
Dari pengertian tersebut maka dapat diambil pengertian bahwa nafkah ialah
memberi atau memenuhi kebutuhan makan, kediaman, perawatan kesehatan, pakaian,
dan pembantu rumah tangga (jika suami mampu) kepada istri/istri-istri dan
anak-anaknya.[3]
Menurut Zakah nafkah ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri,
kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka, seperti makanan,
pakaian, dan tempat tinggal.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik
pemahaman bahwa nafkah adalah belanja hidup sehari-hari yang diberikan atau
dipenuhi oleh seorang suami kepada istri dan anaknya, kerabat, dan tetangganya,
untuk memenuhi keperluan mendasar manusia: sandang, pangan, papan.
Ditinjau dari aspek orang yang berhak menerima
nafkah, maka nafkah terbagi menajdi tiga macam, yatitu:
a.
Nafkah istri
b.
Nafkah kerabat
c.
Nafkah barang atau sesuatu yang dimiliki.[4]
Dalam pembahasan skripsi ini, penyusun
hanya memfokuskan pada masalah nafkah istri (keluarga).
2. Dasar Hukum
Nafkah
Ada beberapa firman Allah SWT dan hadis Rasulullah SAW yang menjadi
dasar hukum dalam masalah nafkah, yaitu sebagai berikut :
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa suami berkewajiban memberi istri dan anak-anaknya makanan, pakaian dan
penyediaan tempat tinggal dengan cara yang ma'ruf, yang mana pelaksanaan
kewajiban itu sesuai dengan kesanggupannya.
Akad nikah yang sah menyebabkan isteri
telah terikat dengan hak-hak suaminya dan telah haram dikawini orang lain.
Ikatan tersebut juga menyebabkan isteri tidak dapat mencari nafkah untuk
dirinya sendiri, karena itu ia berhak mendapat nafkah dari orang yang
mengikatnya yaitu suami.
Berdasarkan hal di atas, isteri berhak
menerima nafkah apabila telah ada syarat –syarat sebaai berikut :
a.
Telah
terjadi akad nikah yang sah. Apabila akad nikah masih diragukan kesahannya,
maka isteri tidak berhak menerima nafkah dari suami.
b.
Isteri
telah menyerahkan diri kepada suami. Maksudnya adalah isteri telah bersedia
menerima dan meksanakan kewajibannya sebagai isteri dan bersedia memenuhi
hak-hak suaminya, seperti telah bersedia mengurus rumah tangga suaminya,
melayani, dan lain sebagainya.
c.
Isteri
telah bersedia tinggal bersama-sama di rumah suaminya. Dalam hal isteri tetap
tinggal di rumah orang tuanya atas permintaan sendiri dan telah mendapat izin
suaminya, atau kerena suami belum sanggup menyediakan kediaman bersama, ia
tetap berhak mendapatkan nafkah.
d.
Isteri
telah dewasa dan sanggup melakukan hubungan suami isteri.[8]
Para ahli fiqih berpendapat bahwa suami wajib memberi nafkah kepada
istri dan anak-anaknya secara patut.[9]
Pemberian nafkah secara makruf ditafsirkan bahwa nafkah yang diberikan sesuai
dengan apa yang telah digariskan syara' dan dikenal masyarakat secara umum,
yakni dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak kekurangan. Nafkah diberikan
sesuai dengan kecukupan dan kebutuhan hidup keluarga, sesuai dengan kesulitan
dan kemudahan suami dalam hal penghasilannya.[10]
Sementara itu Rasyid Ridha menafsirkan
ma'ruf dari sisi nilai dan cara pemberian nafkah. Bahwa nafkah yang ditunaikan
tidak berupa jenis nafkah dengan nilai yang rendah dan tidak pula diberikan
dengan cara yang merendahkan pihak penerima yakni istri dan anak-anaknya. [11]
Suami yang mempunyai kemampuan lebih dalam
menuanaikan nafkah namun enggan atau berat hati (kikir) untuk memberikannya,
terdapat ketentuan hadis dalam menyikapinya. Dalam suatu riwayat Hindun binti
'Utbah mengahadap Rasulullah untuk meminta petunjuk Rasul mengenai kekikiran
suaminya dalam memberi nafkah :
ا
ن هند بنت عتبة قا لت يا رسول الله ا ن ا با سفيا ن ر جل سحيح و ليس يعطيني ما
يكفيني و و لد ي الا ماا حذ ت منه و هو لا يعلم فقا ل خذ ي ما يكفيك و و لد ك .[12]
Berdasarkan hadis diatas, isteri
dibolehkan mengambil secara diam-diam harta suami yang kikir dengan maksud
untuk mencukupi kebutuhan nafkah bagi dirinya (istri dan anak-anak), dengan
cara tidak berlebih-lebihan.
Dari sini jelaslah bahwa nafkah merupakan
hak istri dan anak-anak yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan bahkan
pengobatan jika istri adalah seorang suami yang kaya. [13]
Tanggung jawab memberi nafkah membawa
konsekwensi bagi suami untuk berusaha sekuat tenaga agar dapat mencukupi nafkah
keluarga yang halal dan diridhai Allah SWT.
Firman Allah :
الر جال قوا موا ن على النساء بما فضل الله بعضهم على
بعض وبما ا نفقوا من امولهم فالصلحت قا نتت حا فظت للغيب بما حفظ الله واللتى
تخفون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضا جح واضربوهن فإن اْ طعنكم فلا تبغوا عليهن
سبيلا إن الله كا ن عليا كبيرا . [14]
Menutur
at-Tabari, ayat di atas lebih menekankan kepada kedudukan suami sebagai
pemimpin dalam sebuah keluarga, bukan kepemimpinan secara umum. Sebagai seorang
pemimpin suami berkewajiban mendidik isterinya.[15]
Kepemimpinan seorang suami berimplikasi pula pada kewajibannya untuk memberikan
nafkah keluarga bagi isteri-isteri dan anak-anak mereka.[16]
3.
Bentuk
dan Ukuran Pemenuhan Nafkah
Nafkah
keluarga yang harus dipenuhi suami selaku kepala keluarga terbagi menjadi
beberapa macam, yaitu :
a. Sandang dan Pangan
Kebutuhan
sandang dan pangan rumah tangga merupakan ktanggung jawab suami untuk
memenuhinya. Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al- Baqarah ayat 233.
Makanan menjadi kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi sebab tanpa makanan manusia tidak punya energi untuk beraktifitas dan
beribadah kepada Allah SWT. Begitu juga pakaian yang berfungsi sangat penting
dalam kehidupan, yang antara lain menutup aurat, pelindung tubuh dan pelengkap
dalam ibadah.
b. Papan atau Tempat tinggal
Kewajiban
suami menyediakan tempat tinggal bagi isteri dan anak-anak-anaknya ini berdasar
pada firman Allah dalam at- Thalaq ayat 6.
Tempat tinggal merupakan sarana utama
sebagai wadah bagi segala proses kehidupan rumah tangga : tempat bergaulnya
suami dan istri, orangtua dan anak, beristirahat dan masih banyak lagi fungsi
rumah tinggal bagi sebuah keluarga. Rumah yang disediakan patut menjadi tempat
tinggal dengan perabot yang memadai, menjamin keamanan jiwa dan harta, serta
keselamatan keluarga. [17]
c.
Pendidikan
Anak
Termasuk nafkah keluarga yang mesti
dipenuhi suami adalah biaya pendidikan. Fungsi pendidikan adalah untuk
membekali pengetahuan kepada anak agar kualitas kehidupannya terjaga. Selain
itu pendidikan penting bagi seorang anak yakni untuk melindungi keluarga dari
hal-hal yang dapat menyengsarakan keluarga di dunia maupun akhirat. [18]
d.
Biaya
Pengobatan
Memelihara dan menjaga kesehatan keluarga
memang sudah selayaknya diperhatikan dan biaya pengobatan tersebut menjadi
salah satu bentuk perlindungan dan pemeliharaan suami kepada keluarganya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
kewajiban suami adalah mencukupi kebutuhan nafkah yang berupa sandang, pangan,
papan, pendidikan anak, dan biaya pengobatan.
Pemberian nafkah sebagaimana yang tersebut
diatas mesti disesuaikan dengan tingkat kedudukan sosial ekonomi suami istri
dan selaras dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat mereka tinggal.
Perincian hal-hal yang harus diberikan sebagai nafkah disesuaikan dengan
kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri dan standar kehidupan
mereka.[19]
Al-Qur'an dan hadis tidak menyatakan
dengan terperinci tentang kadar nafkah yang wajib diberikan oleh suami, hanya
menerangkan secara umum yaitu menurut kesanggupan suami.[20]
Hal ini berdasarkan kepada Firman Allah Surat at-Talaq ayat 6 dan 7 sebagaimana
telah tercantum di atas.
Pada ayat tersebut terdapat gambaran umum
tentang pemberian nafkah, yaitu nafkah diberikan kepada istri menurut cara yang
patut, dalam arti cukup untuk keperluan istri dan sesuai dengan kemampuan
suami, pemberian nafkah dilakukan sedemikian ruma sehingga tidak memberatkan
isteri dalam mengurus rumah tangga dan tidak menimbulkan mudarat baginya.
Ketentuan Al-Qur'an tersebut sesuai dengan
sifat hubungan suami-isreti yang hidup saling mengasihi dan mencintai,
kebersamaan dalam membangun rumah tangga, yang diantara keduannya mesti saling
memiliki baik dalam hal rohani, jasmani, maupun materi. Semua persoalan dalam
keluarga, termasuk dalam hal ini nafkah, tentu harus diselesaikan dengan cara
yang baik yakni dengan musyawarah.[21]
Dalam hal jumlah atau kadar kelayakan
nafkah, golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah
untuk isteri dan anak-anak. Suami memberikan nafkah secukupnya, yang meliputi
makanan, daging, sayur-sayuran, buah-buahan, serta kebutuhan sehari-hari
lainnya. Standar ini akan berubah sesuai dengan keadaan dan situasi setempat.
Sementara golongan Syafi'i
berpendapat, kadar nafkah diqiaskannya kepada kaffarat. Kaffarat
yang terbanyak (maksimum) ialah dua mud (+ 2x2
1/2 kg beras) sehari, sama dengan kaffarat karena murusak atau menyakiti
di waktu mengerjakan ibadah haji. Sedang kaffarat terendah (minimum)
adalah satu mud sehari, disebut juga kaffarat zhihar.[22]
Dzihar ialah sumpah suami yang menyamaan isterinya dengan salah seorang
mahramnya. Dan jika keadaan suami sedang, maka ia dikenakan kewajiban nafkah
sebesar satu setengah mud.
Dalam hal suami mampu memberi nafkah
kepada isterinya, maka dalam pemberiannya nafkah itu hendaknya diperhatikan
bahwa :
a.
hendaklah
jumlah nafkah mencukupi keperluan isteri dan disesuaikan dengan keadaan
kemampuan suami, baik yang berhubungan dengan pangan, sandang maupun yang
berhubungan dengan tempat tnggal.
b.
Hendaklah
nafkah itu telah ada pada waktu diperlukan. Oleh karena itu sebaiknya suami
menetapkan cara-cara dan waktu –waktu pemberian nafkah kepada isterinya.
Misalnya seminggu sekali, sebulan ekali, tiap-tiap penen dan sebagainya
c.
Sebaiknya
kadar nafkah itu didasakan kepada jumlah kebutuhan pokok yang diperlukan, bukan
berdasarkan jumlah uang yang diperlukan. Hal ini mengingat keadaan nilai uang
yang kadang-kadang mengalami perobahan atau harga barang kebutuhan pokok tidak
pasti.[23]
[2] Nasruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Umat Islam : Nikah, Talak, Ruju',
Cet. II. (Jakarta: Bulan Bintang, 1957), hlm. 94.
[6] At- Talaq (65) : 6
[7] At- Talaq (65) : 7
[8] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet
3 (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hlm. 131-132.
[11] Muhammad Rasyid Ridā, Tafsir Al- Qur'ān al
Hakim : As-Syahir bi Tafsīr al Manar, (Beirut : Dār al- Fiqr, t.t.), II : 412.
[12] Al- Imam Abī Abdillah Muhammad bin Islā'il bin
Ibrahīm bin al-Mugirah bin Bar dizhah al- Bukhārī al- Ja'fi, as- Shahih al
Bukhārī, (Beirut : Dār al- Fiqr, 1981), VI : 193. Diriwayatkan dari
Muahmmad bin Musanna, dari Yahya dari Hisyam dari Ayahnya, dari 'Aisyah.
[14] An-Nisā' (4): 34
[15] Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution dalam, Islam tentang
Relasi suami isteri (Hukum Perkawinan I), (Yogyakarta:
ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2004) hlm. 169. Lebih jelasnya lihat, Abi Ja'far
ibn Jarir al-Tabari, Jamī' al- Bayān fi Tafsīr al-Qur'ān, (Beirut: Dār
al- Ma'rifāh, 1392/1972), V: 37-38.
[16] Ibid, hlm. 169.
[18] Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Cet.
IV, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 82-83.
[19] A. Rahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam
dan Perkawinan, Alih Bahasa Zainuddin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm 369.
[22] Zakariya Darajdat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), II : 146.
[23] Kamal Mukhtar, Asas-asas…, hlm.
34.