Thursday, May 8, 2014

Pengertian, Dasar Hukum, Syarat, dan Tujuan Poligami



1. Pengertian Poligami
Poligami menurut istilah bahasa Arab disebut تعدالروجا ت yang diambil dari kata  تعد د yang diartikan terbilang atau banyak, dan kata الزوجة artinya isteri-isteri.[1]
Sedangkan kata poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani dari kata poly atau pulus yang berarti banyak dan gomein atau gomos yang berarti kawin. Jadi secara bahasa, poligami berarti "suatu perkawinan yang banyak" atau "suatu perkawinan yang lebih dari seorang", baik pria atau wanita. Poligami dapat dibagi atas poliandri dan poligini. Poliandri adalah perkawinan wanita dengan lebih dari seorang pria sedang poligini adalah perkawinan pria dengan lebih dari seorang wanita.[2]
Dalam perkembangannya istilah poligini jarang sekali dipakai, sehingga poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa wanita.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan poligami adalah suatu bentuk perkawinan, yaitu seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang wanita.
2. Dasar Hukum
Sebagian ulama' hukum Islam membolehkan poligami dengan berdasar pada ayat Al- Qur'an sebagai berikut:
وإ ن خفتم أُ ن لا تقسطوافي اليتا مى فا نكحوا ما طا ب لكم من النسا ء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم الا تعد لوا فوا حد ة ا و ما ملكت ايما نكم
 ذ لك ا دنى ا لا تعو لوا.[3]
Meski demikian, pembolehan poligami dalam ayat ini bukan merupakan tujuan utama. Sebab ayat ini turun sesudah perang uhud, di mana pada waktu itu banyak laki-laki gugur. Mereka yang gugur meninggalkan janda-janda dan anak-anak yatim, dan jika kondisi tersebut tidak ditangani sesegera mungkin akan menimbulkan kekacauan sosial dan stabilitas Madinah menjadi terganggu.
Berdasarkan latar belakang dan ungkapan di atas, tampaknya ayat ini menyiratkan sebuah perintah yang berlaku secara temporal atau dengan kata lain bahwa poligami baru berlaku manakala keadaan suatu negara dalam kondisi kritis yang disebabkan adanya ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan.
Muhammad Abduh menjelaskan bahwa kebolehan poligami tergantung pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman, karena itu konteks sejarah ketika turunnya ayat tentang kebolehan poligami ini harus dibaca secara cermat dan jernih, dengan kata lain meskipun muhammad Abduh sangat keras dalam mengharamkan poligami, tetapi masih ada kemungkinan untuk melakukannya, yakni manakala ada tuntutan yang benar-benar mengharuskan seseorang melaksanakannya, larangan atau kebolehan poligami lebih banyak ditentukan oleh tuntutan zaman, yaitu keadaan darurat.[4]
Menurut Mahmud Syaltut, hukum poligami adalah mubah. Poligami boleh dilakukan selama tidak terjadi penganiayaan terhadap isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan. Untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, maka kaum laki-laki dianjurkan untuk beristeri seorang saja.
Islam memberikan hak kepada kaum laki-laki untuk berpoligami bukanlah berarti memberikan kesempatannya pada kaum laki-laki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap kaum wanita, atau pun berarti bahwa Islam bertindak tidak adil antara kaum laki-laki dengan kaum wanita. Sebab, sebelum Islam datang pun poligami sudah dilakukan bahkan tidak ada batasan sama sekali, sedang dalam Islam ada aturan dan batasan jumlah istri.
Alasan lain dibolehkannya poligami adalah untuk menutup segala peluang yang dapat menyebabkan umatnya jatuh kepada perbuatan haram (zina). Sebab, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada perbuatan aniaya.[5] Maksudnya adalah poligami lebih aman agar tidak melampaui batas atau berbuat zalim. [6]
Meski demikian sukar bagi seseorang yang berpoligami dapat mencapai tujuan perkawinannya dengan baik. Sebab seorang suami akan dihadapkan dengan persoalan-persoalan nafkah yang kian besar dan harus membaginya dengan adil kepada istri-istri dan anak-anaknya.
Selain itu, kebolehan berpoligami juga harus memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam hukum Islam dan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
3. Syarat-syarat Poligami
  a. Berlaku adil
Keadilan yang dimaksudkan sebagai syarat poligami, menurut Sayid Saqib adalah keadilan yang bersifat lahiriyah yang mampu dipenuhi oleh manusia. Tidak termasuk di sini keadilan cinta dan kasih sayang, sebab dua hal itu tidak seorangpun sanggup memenuhinya.[7]
Mengenai keadilan bagi suami yang berpoligami, Abu Bakar bin Arabi berkata :
Memang benar bahwa adil dalam cinta di luar kesanggupan seseorang. Sebab hanya ada dalam genggaman Tuhan yang membolak-balikkan hati menurut kehendaknya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri satunya tapi tidak begitu bergairah dengan istri lainnya, asalkan saja perbuatan itu tidak disengaja, maka ia tidak berdosa. Sebab hal ini ada di luar kemampuan.[8]
Keadilan seorang suami terhadap istri-istrinya sekaligus menjadi hak istri. Agama juga mewajibkan suami memberikan nafkah kepada tiap-tiap istri dan memberi pakaian yang sama dengan istri-istri lain.
b.  Tidak boleh ada hubungan saudara dalam hal wanita yang hendak dinikahi.
Larangan mengumpulkan dua orang wanita sesaudara ini berdasarkan pada Firman Allah SWT :
وا ن تجمعوا بين الا ختين الا ما قد سلف .[9]
Larangan ini berlaku dalam satu waktu. Imam al- Bukhari meriwatkan tentang larangan itu dari Abu Hurairah :
وا ن يجمع بين المرا ة و عمتها ولا بين المراة وخا لتعها .[10]
Maksud larangan tersebut adalah agar hubungan darah tidak terputus antara anggota keluarga.
c. Kemampuan suami dalam hal nafkah
Ijma' ulama' sepakat menjadikan nafkah sebagai kewajiban seorang suami yang sekaligus menjadi hak bagi isteri. Apabila seorang suami belum punya cukup kemampuan dalam hal materi maka tidak dibolehkan baginya berpoligami.
Menurut syari'at jika seorang laki-laki belum memiliki sumber rezeki untuk menafkahi isteri maka belum dibolehkan menikah. Sesuai dengan sabda Rasul :
يا معشر السبا ب من استطا ع منكم البا ء ة فليتر وج فا نه اغص للبصر وا حض للفرج ومن لم يستطع فعليه با لصوم فا نه له وجاء .[11]
Berkaitan dengan nafkah orang yang berpoligami, Prof. Ahmad Syalabi merpendapat bahwa orang yang berpoligami haruslah memiliki kemampuan ekonomi cukup. Nafsu syahwatnya perlu dipertimbangkan dan diseimbangi dengan kekuatan ekonominya.[12]
Pendapat di atas sekiranya memang sudah selayaknya disetujui. Sebab poligami tanpa dasar ekonomi yang cukup sangat rentan akan menimbulkan aniaya dan jelas tidak dikehendaki dalam Islam.
Syarat kemampuan memberi nafkah merupakan suatu penghormatan kepada wanita. Jika syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh suami, maka status perkawinannya menjadi haram. Sebab ia tidak mampu melakukan mu'asyarah bil ma'ruf kepada isteri-isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran :
وعا شروهن با لمعروف [13]
d.  Jumlah wanita yang boleh dinikahi maksimal dari empat
Seorang laki-laki atau suami yang berpoligami hanya diperbolehkan menikahi wanita dengan batasan empat orang isteri. Sesuai dengan yang ditegaskan surat an-Nisa' ayat 3. Juga oleh sebuah hadis Nabi berikut ini :
حد ثن هنا د , حد ثن عبد ة ين ا بى عرو بة عن معمو , عن اا زهري , عن سا   لم بن عبد الله , عن ا بن عمر , ا ن غيلا ن بن سلمة الثقفي اسلم وله عشر نسو ة في ا لجا هليه, فاْ مره النبى صلى الله عليه وسلم ان يتخيرأربعا منهن [14]
Berdasarkan hadis tersebut seorang laki-laki dibolehkan menikah maksimal empat orang wanita. Jika mereka takut akan berbuat durhaka ketika berpoligami maka cukup dengan seorang saja.
Dari uraian tersebut maka dapat dipetik sebuh kesimpulan bahwa kebolehan poligami tidak diumbar begitu saja. Dalam hukum Islam seorang suami tidak dibenarkan melakukan poligami tanpa adanya sebab-sebab yang logis yang melatarbelkanginya. Selain itu syarat poligami sebagaimana telah diuraikan diatas harus benar-benar terpenuhi dan yang demikian ini tidaklah merupakan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.

4. Tujuan dan Kondisi Diperbolehkannya Poligami
      Surat an-Nisā' ayat 3 yang sering dijadikan dasar pembolehan poligami turun setelah perang uhud. Di mana banyak sekali pejuang muslim yang gugur. Sehingga mengakibatkan banyak pula anak yatim dan janda. Dalam ketidakstabilan tersebut salah satu jalan untuk memecahkannya adalah dengan perkawinan. Islam telah memberikan tuntunan yang sempurna dalam memecahkan problema yang pelik tersebut dengan poligami.[15]
      Dengan latar belakang historis turunnya ayat itu menjadi cukup terang bahwa Islam tidak membuka lebar pintu poligami bagi pemeluknya. Bahkan Islam datang untuk memperketat kebolehan poligami. Bukan saja dengan jumlah maksimal empat orang isteri namun juga dijadikannya sebgai sarana untuk mengatasi persoalan yang tidak diinginkan. Allah SWT membolehkan poligami dan apabila takut akan menelantarkan mereka dan tidak bisa berbuat adil maka poligami tidak dibolehkan.
      Tujuan Poligami dalam Islam dapat dilihat dari poligami yang dilakukan Rasulullah SAW. Nabi menikahi isteri-interinya bukan untuk melampiaskan hasrat biologinya, melainkan untuk membantu kesulitan yang dialami perempuan yang kemudian menjadi isteri-isterinya. Hal ini bisa dilihat dari pilihan Rasulullah SAW untuk menikahi janda yang secara ekonomi tidak menguntungkan.[16]
      Selama hidupnya Nabi tidak pernah menikah dengan seorang gadis kecuali 'Aisyah. Semua isteri beliau selain 'Aisyah adalah janda yang sebagian diantaranya membawa beberapa anak yatim. Dan beliau baru berpoligami setelah isteri pertamanya, Khadijah meninggal pada usia 60 tahun.
      Jelaslah bahwa kebolehan poligami yang tertuang dalam surat An-Nisa' ayat 3 bukan untuk semua orang. Namun, suami boleh melakukan poligami dalam keadaan tertentu saja. Menurut al- Maragi, dalam tafsir al- Maragi menyebutkan bahwa kebolehan poligami merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Poligami hanya boleh dilakukan dalam keadaanya yang darurat  saja, yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkan, dengan syarat dapat dipercaya menegakkan keadilan dan aman dari perbuatan yang melampaui batas.[17]
      Adapun kondisi-kondisi yang menurut al-Maragi diperbolehkan untuk poligami adalah :
1.      Bila seorang suami beristerikan seorang wanita mandul sedangkan ia sangat mengharapkan keturunan.
2.      Bila isteri telah menoupouse atau tidak lagi mengeluarkan darah haid sementara sang suami mampu memberikan nafkah kepada lebih dari seorang isteri saja.
3.       Demi terlepeliharanya kehoratan diri, menjaga dari perzinaan, karena kapabilitas seksual suami tinggi dan mendorong untuk berpoligami.
4.      Bila diketahui dari hasil sensus kaum wanita lebih banyak dari kaum pria dengan pertimbangan yang mencolok. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri.[18]
        


[1]Ahmad Warson Munawir, Kamus Al- Munawir, (Yogyakarta : Ponpes al- Muwawir, 1984), hlm. 592 & 904
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensikloperdi Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoave, 1993) IV : 107.
[3] An-Nisā' (4) : 3
[4] Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi Kritis atas Pemikiran Muhammad Abduh, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 103.   
[5] Terjemah Surat An-Nisā' (4) : 3.
[6] Abdul Hamid Kisyik, Hikmah Pernihakan Rasulullah SAW, (Bandung, Al- Bayan : 1995), hlm. 11-12.
[7] As- Sayyid Saqib, Fikih Sunnah,  Cet. I, (Bandung: PT al- Ma'arif, 1978), VI : 172-173. 
[8] Ibid…, hlm 173.
[9] An-Nisā' (4) : 23
[10] Imam al- Bukhori, Shohih al- Bukhārī, Rab Lā tunkāhū al-marātū 'ala Ammatihā, (Beirut : Dâr al- Fikr, tt, tp), III : 128. Hadis ini shohih.  
[11] Al- Bukhari, Abu 'Abdillah Muhammad bin Isma'il, as- Shahih al- Bukhari, Kitab an-Nikah, Bab Man Lam Yastati al-Bāta Falyasum, (Beirut, Dar al- Fikr, 1401 H/1981 M), III : 177, Hadis yang diriwayatkan oleh 'Umar ibn Hafsin Ibn Hiyas, Umarah dari Abdurrahman Ibn Yazid.
[12] Prof. Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Cet. VI (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1990), I : halamane
[13] An-Nisā' (4) : 19
[14] M. Abd. Al-Baqi, al- Jami' Shahih Wahuwa Sunan al-Turmuzi, Kitab an-Nikah, 32. Bab Majāfi ar-Rajuli Yaslimu wa 'Indahu 'Asyru Niswatin, (Makkah al-Mukarramah : Dar al-Fikr, t.t) III: 435, hadis nomor 1128, hadis dari ma'mar dari Zuhri adalah hadis yang diriwayatkan Syu'aib bin Hamzah dan lainnya dari Zuhri.
[15] Labib Muchtar, MZ, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, (Gersik : Bulan bintang, 1986), hlm. 5.
[16]  M. Alfatih Suryadilega, Sejarah Poligami dalam Islam, Musawa, Vol. 1., No. 1 Maret 2002, hlm. 11.
[17] Al- Marāgī, Tafsir al- Marāgī, (Mesir, Mustafa al- Babi al- Habibi, 1382/1963), hlm. 181
[18] Al- Marāgī, Tafsir…, hlm. 182.