Dewasa ini
poligami menjadi bahasan yang hangat terutama di kalangan ahli hukum Islam. Hal
ini menyebabkan banyak bermunculan tulisan baik berupa artikel pendek atau
sebuah buku yang membahas masalah poligami.
Salah satu buku
yang secara khusus membahas masalah poligami adalah Poligami dari Berbagai
Persepsi, karya Mustir al-Jahrani. Dalam bab ke enam dijelaskan bahwa,
Allah SWT telah menjadikan keluarga sebagai tonggak kehidupan, kaedah
pembangunan, dan perkembangan peradaban. Untuk melindungi bangunan keluarga
dari sesuatu yang dapat membuatnya runtuh, maka kemudian poligami disyariatkan
oleh Islam.[1]
Poligami disyariatkan untuk mencegah terjadinya perceraian dan kemerosotan
akhlak karena hubungan gelap suami.
Dalam buku, Rahasia
Poligami Rasulullah SAW karangan Ustadz Labib, MZ, dijelaskan bahwa,
poligami lebih baik dilakukan oleh seorang suami daripada melakukan hubungan
gelap atau perselingkuhan dengan wanita lain. Selain itu poligami lebih baik
bagi isteri itu sendiri, karena sang isteri akan lebih senang ketika melihat suaminya
menikah lagi secara terang-terangan dan resmi, yang berarti menjunjung tinggi
dasar-dasar moral, dari pada suami bermain sembunyi-sembunyi.[2]
Selanjutnya, dalam
buku Islam tentang Relasi Suami Isteri karya Prof. Dr. Khoiruddin
Nasution, dijelaskan menganai pendapat para fuqaha tentang nafkah dalam rumah
tangga. Menurut Imam Malik, mencukupi nafkah keluarga adalah kewajiban suami
yang nomor tiga setelah membayar mahar dan berlaku adil kepada isteri.[3]
Adapun mengenai
unsur-unsur biaya nafkah yang harus dipenuhi seorang suami, menurut Imam
Syafi'i adalah biaya susuan, nafkah makan dan minum (pangan), pakaian
(sandang), tempat tinggal (papan), pembantu, dan kebutuhan seks.[4]
Dalam skirpsi
Muinah Isyati yang berjudul, Pertimbangan Hakim dalam Memberi Ijin Poligami,
Studi di Pengadilan Agama Wates Tahun 1993-1996, menjelaskan bahwa
ketentuan perundang-undangan yang menempatkan pertimbangan hakim dalam
memberikan keputusan memiliki tujuan pokok, yaitu agar supaya para hakim ketika
memeriksa dan memutuskan perkara benar-benar dapat menegakkan hukum dan
keadilan. Putusan yang telah dijatuhkan selayaknya merefleksikan dimensi
keutuhan pertanggungjawaban terhukum, kebenaran dan keadilan serta
pertanggungjawaban kepada Allah SWT.[5]
Pada Bab III,
skripsi tersebut menjabarkan tentang pertimbangan hakim dalam memberikan ijin
poligami. Pengadilan agama akan memeriksa apakah syarat-syarat Pemohon telah
terpenuhi atau belum. Pada tahap pembuktian, Pengadilan Agama akan memeriksa,
yang antara lain adalah surat
keterangan penghasilan yang telah dilampirkan sebagai tanda bukti mengenai
kemampuan suami.[6]
Namun, dari
berbagai penelusuran literatur yang telah dilakukan, penyusun belum menemukan buku
yang secara khusus membahas tentang kemampuan suami memberi nafkah sebagai syarat
poligami.
[1] Mustir al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.
88.
[2] Labib Ustads, MZ, Rahasia Poligami Rasulullah S.A.W, (Gresik:
Bintang Pelajar, 1986), hlm 67.
[3] Khoiruddin Nasution, Islam…., hlm. 175.
[4] Ibid…, hlm. 179.
[5] Muinah Isyati, Pertimbangan Hakim dalam Memberi Ijin Poligami,
Studi di Pengadilan Agama Wates tahun 1993-1996, Skripsi, tidak
diterbitkan, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 24-25.
[6] Ibid, hlm. 43-44.