Tuesday, May 6, 2014

Kemampuan Suami Memberi Nafkah sebagai Syarat Poligami

Sebuah keluarga yang sejahtera ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya kebutuhan keluarga sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Adapun kebutuhan pokok manusia terdiri dari: a) Kebutuhan jasmani, yang berupa pakaian, makanan, perumahan, pemeliharaan, hubungan seksual, kesehatan, dll ; b) Kebutuhan rohani, yakni antara lain filsafat hidup, agama, dan moral ; c) Kebutuhan sosio kultural, yakni pergaulan, kebudayaan dll. Semua kebutuhan tersebut saling terkait dan seminimal mungkin harus terpenuhi untuk dapat menwujudkan keluarga yang sejahtera.[1] Ketiga macam kebutuhan di atas meski terpenuhi secara terpadu.
Terpenuhinya nafkah memang bukanlah satu-satunya faktor bagi terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup keluarga, namun memiliki pengaruh yang sangat berarti dalam kehidupan rumah tangga. Nafkah merupakan sarana memelihara kelanggengan keluarga dan mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan di dalamnya. 
Dalam Kompilasi Hukum Islam telah disebutkan bahwa suami berkewajiban melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.[2]
Ijma' ulama juga menghukumi wajib memberi nafkah atas suami terhadap isteri-isterinya apabila syarat-syarat berikut terpenuhi:
1.     Perkawinan telah terjadi secara sah menurut hukum Islam.
2.     Isteri telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami.
3.     Mungkin dilakukan hubungan intim antara keduanya (suami-isteri).
4.     Isteri bersedia tinggal di tempat yang ditentukan suami.
5.     Kedua belah pihak adalah ahli istimta' (atau dapat melakukan hubungan suami isteri secara wajar dan normal).[3]
Menurut al- Maragi, dalam tafsir al- Maragi menjelaskan bahwa poligami sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat an-Nisa (4) ayat 3 merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya poligami hanya diperbolehkan dalam keadaanya yang darurat  saja, yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkan, dengan syarat dapat dipercaya menegakkan keadilan dan aman dari perbuatan yang melampaui batas.[4]
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang salah satu tujuan adalah untuk mencegah dilakukannya poligami karena lebih rentan akan menimbulkan kerusakan-kerusakan dan bahaya. Selo Soemardjan, seorang sosiolog mengemukakan bahwa Undang-undang Perkawinan dibuat pada pokoknya adalah untuk mengubah sistem poligami menjadi monogami dan sekaligus dengan undang-undang itu diusahakan kedudukan pihak wanita supaya menjadi lebih terlindungi terhadap pihak pria dalam hubungan suami isteri.[5] Akan tetapi, karena berbagai alasan, praktek poligami tetap saja dilakukan oleh suami. Padahal Undang-undang Perkawinan telah memperketat dilakukannya poligami, yaitu dengan membebankan ketentuan khusus bagi suami yang hendak berpoligami. Hal ini tertuang dalam pasal 4 ayat 2:
Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberi ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.  isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat  disembuhkan.
c.  isteri tidak dapat memberikan keturunan.[6]

Ketiga alasan diperbolehkannya seorang suami untuk berpoligami tersebut merupakan syarat alternanif. Artinya, Pemohon harus memenuhi minimal salah satu dari ketiga syarat tersebut untuk bisa mendapatkan ijin menikah lebih dari satu.
Selain dari syarat alternatif, Pemohon juga harus memenuhi syarat komulatif, yaitu dalam pasal 5:
a.    adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri.
b.    adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan isteri dan anak-anak mereka.
c.    adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.[7]

Ketiga syarat komulatif tersebut harus dipenuhi tanpa terkecuali oleh seorang suami apabila hendak meminta ijin poligami di Pengadilan Agama.
Ijin tertulis yang diberikan pengadilan merupakan upaya hukum yang meskipun kelihatannya bersifat administratif belaka, namun ia juga memiliki fungsi sosial preventif yang sangat besar. Fungsi ini akan bisa dirasakan secara jelas ketika pihak isteri atau anak-anak yang ditinggal suami tidak mendapat tanggung jawab atas hak-haknya.[8]
Dalam tata cara permohonan ijin poligami pada tahap pembuktian, Pengadilan Agama akan memeriksa mengenai:
1.    Ada atau tidak adanya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagaimana alasan alternatif yang tercantum dalam pasal 4 Undang-undang perkawinan.
2.    Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan,
a.       Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempatnya bekerja.
b.      Surat keterangan pajak.
c.       Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
3.    Ada atau tidak adanya persetujuan isteri baik secara lisan maupun tertulis yang harus dinyatakan dalam sidang.
4.     Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil.
Dalam pasal 62 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dijelaskan bahwa seorang hakim wajib mencantumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang dalam setiap keputusannya, termasuk ketika memberikan ijin poligami bagi suami. Setiap putusannya harus jelas, dan cukup motifasi pertimbangannya. Dalam arti luas, bukan hanya sekedar meliputi motivasi pertimbangan tentang alasan-alasan dan dasar-dasar hukum serta pasal-pasal yang berlaku, tapi harus meliputi sistematika argumentasi dan kesimpulan yang terang dan mudah dipahami. Termasuk juga ketika membuktikan bahwa suami yang mengajukan permohonan poligami itu mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak-anak mereka. Sebab nafkah terhadap isteri mutlak merupakan kewajiban suami sejauh kemampuannya.[9]
Dalam hal jumlah atau kadar kelayakan nafkah, golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah untuk isteri dan anak-anak. Suami memberikan nafkah secukupnya, yang meliputi makanan, daging, sayur-sayuran, buah-buahan, serta kebutuhan sehari-hari lainnya. Standar ini akan berubah sesuai dengan keadaan dan situasi setempat.[10] Pendapat ini berdasar pada firman Allah:
اسكنو هن من حيث سكنتم من وجد كم     [11]
Juga firman Allah:
لينفق ذ و سعة من سعة  ومن قد ر عليه ر زقه فلينفق مماا ته الله  لا يكلف الله نفسا الا ما ا تها  سيجعل الله بعد عسر يسرا .[12]
Sementara menurut golongan Syafi'i berpendapat nafkah diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan yang sederhana. Dan inilah yang dimaksud dengan pengertian makruf oleh agama.[13] Dalam hal kadar nafkah Imam Syafi'i mengqiaskannya kepada kaffarat. Kaffarat yang terbanyak (maksimum) ialah dua mud (+ 2x2 1/2 kg beras) sehari, sama dengan kaffarat karena murusak atau menyakiti di waktu mengerjakan ibadah haji. Sedang kaffarat terendah (minimum) sebesar satu mud sehari, disebut juga kaffarat zihar.[14] Dan jika keadaan suami sedang, maka ia dikenakan kewajiban nafkah sebesar satu setengah mud.
Al-Razi menjelaskan kewajiban nafkah yang sekaligus menjadi hak isteri adalah karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki suami. Kelebihan tersebut ada dua jenis. Ada yang bersifat hakiki, seperti kelebihan pria dalam berpikir dan kemampuan fisik. Ada juga yang bersifat syar'i seperti, jumlah bagian warisan, persaksian, perwalian, kewajiban bela negara dan lain sebagainya.[15]    
Sementara Al-Qurtubi mengatakan bahwa keutamaan pria dari wanita terletak pada masalah bagian warisan yang dari sini juga akan kembali kepada wanita lewat kewajiban membayar mahar dan kewajiban memberi nafkah bagi suami.[16]
Apabila suami benar-benar tidak sanggup memenuhi kewajiban nafkah hidup untuk keluarga, Abu Hanifah menetapkan bahwa isteri harus dinasihati agar menerima keadaan dengan penuh kesabaran. Tetapi, Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal menyatakan, jika wanita atau isteri tidak mampu lagi berbaik atau besatu dengan suaminya dan kemudian meminta pengadilan untuk menceraikan, maka ia harus diceraikan dari suaminya. Imam Malik menganjurkan memberi waktu satu atau dua bulan peringatan kepada suaminya, Imam Syafi'I tiga kali peringatan, sedang Imam Ahmad menghendaki cerai segera mungkin dalam kasus seperti itu.[17] 
Lain dari pada itu, ada bebedapa hal penting yang harus diperhatikan oleh suami dalam memberikan nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anak mereka, yaitu: a) Jumlah nafkah mesti mencukupi kebutuhan keluarga dan disesuaikan dengan kemampuannya sendiri ; b) Nafkah itu pada waktu yang perlukan ; dan c) kadar nafkah sebaiknya didasarkan kepada jumlah kebutuhan pokok yang diperlukan, bukan berdasarkan jumlah uang yang diperlukan.[18]


[1] _____, Bimbingan Keluarga Sejahtera bagi Calon Pengantin dan Keluarga Baru: menuju Keluarga Sakinah, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urhaj Dit. Urais, 1997), hlm 36-37.
[2] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 80 ayat (2).
[3] Harun Nasution, DKK, Enslikopedia Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama R.I., Dirjen Binbaya Islam, Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN 1992/1993), hlm. 341
[4] Al- Maragi, Tafsir al- Maragi, (Mesir, Mustafa al- Babi al- Habibi, 1382/1963), hlm. 181
[5] Dalam Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1986), hlm. 18 
[6] Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[7] Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[8] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gama media, 2001), hlm. 111.
[9] Morteza Mutahari, Wanita dan Hak-haknya dalam Islam, Cet. I ( Bandung: Pustaka Pelajar, 1985). hlm. 159. 
[10] As- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet. I, (Bandung: PT Al-Ma'arif, 1978), VII: 89.
[11]At- Talāq (65) : 6. 
[12] At- Talāq (65) : 7.
[13] As- Sayyid Sabiq, Fiqih…, hlm. 91.
[14] Zakariya Darajdat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), II: 146.
[15] Fakhr al- Din al-Razi, Tafsir al- Kabir, ( Beirut : Dar al- Fikr, 1398 H / 1978 M), III: 215.
[16] Khoiruddin Nasution, Islam…., hlm. 173
[17] Abdul A'la, Kawin dan Cerai, Alih Bahasa Achmad Rois, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 96.
[18] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet. 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 134.