Sebuah keluarga
yang sejahtera ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya kebutuhan keluarga
sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Adapun kebutuhan pokok
manusia terdiri dari: a) Kebutuhan jasmani, yang berupa pakaian, makanan,
perumahan, pemeliharaan, hubungan seksual, kesehatan, dll ; b) Kebutuhan
rohani, yakni antara lain filsafat hidup, agama, dan moral ; c) Kebutuhan sosio
kultural, yakni pergaulan, kebudayaan dll. Semua kebutuhan tersebut saling
terkait dan seminimal mungkin harus terpenuhi untuk dapat menwujudkan keluarga
yang sejahtera.[1]
Ketiga macam kebutuhan di atas meski terpenuhi secara terpadu.
Terpenuhinya
nafkah memang bukanlah satu-satunya faktor bagi terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan dalam hidup keluarga, namun memiliki pengaruh yang sangat berarti
dalam kehidupan rumah tangga. Nafkah merupakan sarana memelihara kelanggengan
keluarga dan mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan di dalamnya.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam telah disebutkan bahwa suami berkewajiban melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.[2]
Ijma' ulama juga
menghukumi wajib memberi nafkah atas suami terhadap isteri-isterinya apabila
syarat-syarat berikut terpenuhi:
1.
Perkawinan
telah terjadi secara sah menurut hukum Islam.
2.
Isteri
telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami.
3.
Mungkin
dilakukan hubungan intim antara keduanya (suami-isteri).
4.
Isteri
bersedia tinggal di tempat yang ditentukan suami.
5.
Kedua
belah pihak adalah ahli istimta' (atau dapat melakukan hubungan suami isteri
secara wajar dan normal).[3]
Menurut al- Maragi, dalam tafsir al- Maragi menjelaskan bahwa
poligami sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat an-Nisa (4) ayat 3 merupakan kebolehan
yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya poligami hanya diperbolehkan dalam
keadaanya yang darurat saja, yang hanya
dikhususkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkan, dengan syarat dapat
dipercaya menegakkan keadilan dan aman dari perbuatan yang melampaui batas.[4]
Pemerintah Indonesia
sendiri telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang salah satu tujuan adalah untuk mencegah dilakukannya poligami karena lebih
rentan akan menimbulkan kerusakan-kerusakan dan bahaya. Selo Soemardjan,
seorang sosiolog mengemukakan bahwa Undang-undang Perkawinan dibuat pada
pokoknya adalah untuk mengubah sistem poligami menjadi monogami dan sekaligus
dengan undang-undang itu diusahakan kedudukan pihak wanita supaya menjadi lebih
terlindungi terhadap pihak pria dalam hubungan suami isteri.[5]
Akan tetapi, karena berbagai alasan, praktek poligami tetap saja dilakukan oleh
suami. Padahal Undang-undang Perkawinan telah memperketat dilakukannya
poligami, yaitu dengan membebankan ketentuan khusus bagi suami yang hendak
berpoligami. Hal ini tertuang dalam pasal 4 ayat 2:
Pengadilan dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberi ijin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai seorang isteri.
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
c.
isteri tidak dapat memberikan keturunan.[6]
Ketiga alasan
diperbolehkannya seorang suami untuk berpoligami tersebut merupakan syarat
alternanif. Artinya, Pemohon harus memenuhi minimal salah satu dari ketiga
syarat tersebut untuk bisa mendapatkan ijin menikah lebih dari satu.
Selain dari syarat
alternatif, Pemohon juga harus memenuhi syarat komulatif, yaitu dalam pasal 5:
a.
adanya persetujuan
dari isteri atau isteri-isteri.
b.
adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan isteri dan anak-anak mereka.
c.
adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka.[7]
Ketiga syarat
komulatif tersebut harus dipenuhi tanpa terkecuali oleh seorang suami apabila
hendak meminta ijin poligami di Pengadilan Agama.
Ijin tertulis yang
diberikan pengadilan merupakan upaya hukum yang meskipun kelihatannya bersifat
administratif belaka, namun ia juga memiliki fungsi sosial preventif yang
sangat besar. Fungsi ini akan bisa dirasakan secara jelas ketika pihak isteri
atau anak-anak yang ditinggal suami tidak mendapat tanggung jawab atas
hak-haknya.[8]
Dalam tata cara
permohonan ijin poligami pada tahap pembuktian, Pengadilan Agama akan memeriksa
mengenai:
1.
Ada
atau tidak adanya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
sebagaimana alasan alternatif yang tercantum dalam pasal 4 Undang-undang
perkawinan.
2.
Ada
atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak dengan memperlihatkan,
a.
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempatnya bekerja.
b.
Surat keterangan pajak.
c.
Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
3.
Ada
atau tidak adanya persetujuan isteri baik secara lisan maupun tertulis yang
harus dinyatakan dalam sidang.
4.
Ada
atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil.
Dalam pasal 62
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dijelaskan bahwa seorang hakim wajib
mencantumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang dalam setiap
keputusannya, termasuk ketika memberikan ijin poligami bagi suami. Setiap
putusannya harus jelas, dan cukup motifasi pertimbangannya. Dalam arti luas,
bukan hanya sekedar meliputi motivasi pertimbangan tentang alasan-alasan dan
dasar-dasar hukum serta pasal-pasal yang berlaku, tapi harus meliputi
sistematika argumentasi dan kesimpulan yang terang dan mudah dipahami. Termasuk
juga ketika membuktikan bahwa suami yang mengajukan permohonan poligami itu
mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak-anak mereka. Sebab nafkah
terhadap isteri mutlak merupakan kewajiban suami sejauh kemampuannya.[9]
Dalam hal jumlah
atau kadar kelayakan nafkah, golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak
menentukan jumlah nafkah untuk isteri dan anak-anak. Suami memberikan nafkah
secukupnya, yang meliputi makanan, daging, sayur-sayuran, buah-buahan, serta
kebutuhan sehari-hari lainnya. Standar ini akan berubah sesuai dengan keadaan
dan situasi setempat.[10]
Pendapat ini berdasar pada firman Allah:
Juga firman Allah:
لينفق ذ و سعة من سعة
ومن قد ر عليه ر زقه فلينفق مماا ته الله
لا يكلف الله نفسا الا ما ا تها
سيجعل الله بعد عسر يسرا .[12]
Sementara menurut golongan
Syafi'i berpendapat nafkah diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan yang sederhana.
Dan inilah yang dimaksud dengan pengertian makruf oleh agama.[13] Dalam
hal kadar nafkah Imam Syafi'i mengqiaskannya kepada kaffarat. Kaffarat
yang terbanyak (maksimum) ialah dua mud (+ 2x2
1/2 kg beras) sehari, sama dengan kaffarat karena murusak atau menyakiti
di waktu mengerjakan ibadah haji. Sedang kaffarat terendah (minimum) sebesar
satu mud sehari, disebut juga kaffarat zihar.[14]
Dan jika keadaan suami sedang, maka ia dikenakan kewajiban nafkah sebesar satu
setengah mud.
Al-Razi
menjelaskan kewajiban nafkah yang sekaligus menjadi hak isteri adalah karena
kelebihan-kelebihan yang dimiliki suami. Kelebihan tersebut ada dua jenis. Ada yang bersifat hakiki,
seperti kelebihan pria dalam berpikir dan kemampuan fisik. Ada juga yang bersifat syar'i seperti, jumlah
bagian warisan, persaksian, perwalian, kewajiban bela negara dan lain
sebagainya.[15]
Sementara Al-Qurtubi
mengatakan bahwa keutamaan pria dari wanita terletak pada masalah bagian
warisan yang dari sini juga akan kembali kepada wanita lewat kewajiban membayar
mahar dan kewajiban memberi nafkah bagi suami.[16]
Apabila suami
benar-benar tidak sanggup memenuhi kewajiban nafkah hidup untuk keluarga, Abu Hanifah
menetapkan bahwa isteri harus dinasihati agar menerima keadaan dengan penuh
kesabaran. Tetapi, Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal menyatakan, jika
wanita atau isteri tidak mampu lagi berbaik atau besatu dengan suaminya dan kemudian
meminta pengadilan untuk menceraikan, maka ia harus diceraikan dari suaminya.
Imam Malik menganjurkan memberi waktu satu atau dua bulan peringatan kepada
suaminya, Imam Syafi'I tiga kali peringatan, sedang Imam Ahmad menghendaki
cerai segera mungkin dalam kasus seperti itu.[17]
Lain dari pada
itu, ada bebedapa hal penting yang harus diperhatikan oleh suami dalam
memberikan nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anak mereka, yaitu: a) Jumlah
nafkah mesti mencukupi kebutuhan keluarga dan disesuaikan dengan kemampuannya
sendiri ; b) Nafkah itu pada waktu yang perlukan ; dan c) kadar nafkah
sebaiknya didasarkan kepada jumlah kebutuhan pokok yang diperlukan, bukan
berdasarkan jumlah uang yang diperlukan.[18]
[1] _____, Bimbingan Keluarga Sejahtera bagi Calon Pengantin dan
Keluarga Baru: menuju Keluarga Sakinah, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urhaj Dit.
Urais, 1997), hlm 36-37.
[2] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 80 ayat (2).
[3] Harun Nasution, DKK, Enslikopedia Islam di Indonesia,
(Jakarta: Departemen Agama R.I., Dirjen Binbaya Islam, Proyek Peningkatan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN 1992/1993), hlm. 341
[4] Al- Maragi, Tafsir al- Maragi, (Mesir, Mustafa al- Babi al-
Habibi, 1382/1963), hlm. 181
[5] Dalam Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Perkawinan, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1986), hlm. 18
[6] Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
[7] Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan
[8] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gama media,
2001), hlm. 111.
[9] Morteza Mutahari, Wanita dan Hak-haknya dalam Islam, Cet. I
( Bandung: Pustaka Pelajar, 1985). hlm. 159.
[10] As- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet. I, (Bandung: PT
Al-Ma'arif, 1978), VII: 89.
[11]At- Talāq (65) : 6.
[12] At- Talāq (65) : 7.
[13] As- Sayyid Sabiq, Fiqih…, hlm. 91.
[14] Zakariya Darajdat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), II: 146.
[15] Fakhr al- Din al-Razi, Tafsir al- Kabir, ( Beirut : Dar al-
Fikr, 1398 H / 1978 M), III: 215.
[16] Khoiruddin Nasution, Islam…., hlm. 173
[17] Abdul A'la, Kawin dan Cerai, Alih Bahasa Achmad Rois,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 96.
[18] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet.
3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 134.